Jakarta (ANTARA News) - Wajah Indonesia seperti kolam kecil berair keruh. Rakyat dijejali berita-berita konflik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri, seakan kehidupan jutaan rakyat berporos pada kekeruhan konflik tersebut.

Kemiskinan, harga-harga yang naik, rupiah yang belum juga perkasa, musibah alam, dan berbagai aspek lain yang berkait hajat hidup lebih banyak manusia, tergusur menjadi isu tidak penting.

Indonesia bukanlah kolam kecil berair keruh. Ia adalah samudera yang mengalir jauh, nelayan dan kapal-kapal besar berayun-ayun di atasnya.

Berita-berita suram, termasuk dari sosial media, telah mengubah wajah Indonesia menjadi lebih sempit dan melelahkan. Informasi yang masuk ke ruang-ruang publik, seakan hitam-putih. Media melupakan satu hal penting: membangkitkan optimisme publik.

Adalah Profesor Johan Galtung, ahli studi pembangunan. Pada 1970-an, Galtung mengkritisi pemberitaan pers yang mendasarkan kerja jurnalistik secara hitam putih.

Pola kerja seperti itu, menurut sosiolog Norwegia tersebut, merupakan pola kerja jurnalisme perang, jurnalisme kalah-menang. Jurnalisme model ini lebih tertarik pada konflik, kekerasan, korban yang tewas, dan kerusakan material.

Penganut jurnalisme perang enggan menggali asal-usul konflik, mencari alternatif penyelesaian, berempati pada korban, dan akibat-akibat kemanusiaan yang ditimbulkannya. Jurnalisme perang lebih suka memperjauh jarak pihak berkonflik dalam kerangka kalah-menang, bukan mendekatkan keduanya untuk berdamai.

Pemikiran Galtung tersebut ---yang kemudian diikuti Annabel McGoldricik dan Jake Lynch-- mendorong pers untuk mengubah teori klasik jurnalisme perang menjadi jurnalisme damai (peace journalism).

Pers haruslah mengambil peran mendorong pihak-pihak bertikai untuk menemukan jalan keluar. Pers harus melakukan pendekatan menang-menang dan memperbanyak alternatif penyelesaian konflik.

Ambil contoh, ketika konflik Aceh sepuluh tahun lalu, tidak sedikit rakyat ditemukan tewas di pinggir jalan. Jurnalisme perang lebih suka mewawancarai pihak berkonflik, yang dapat diduga mereka saling menyalahkan dan saling menuduh.

Sebaliknya, jurnalisme damai justru memberi perhatian kepada korban, rakyat yang tidak bersalah, keluarga korban yang menderita dan akibat-akibat yang ditimbulkan konflik. Jurnalisme damai tidak mengutamakan pernyataan pihak berkonflik, melainkan mendorong kesadaran kemanusiaan mereka akibat dari konflik tersebut.

Konflik KPK dengan Polri memperlihatkan jurnalisme perang itu terjadi. Pernyataan komisioner KPK dan pejabat Polri saling berhadapan dan bahkan saling kecam. Publik seperti penonton yang berada di sisi ring tinju. Poros kehidupan bangsa pun seakan berputar-putar di sini.

Senin, 9 Februari 2015 di Batam, Kepulauan Riau, wartawan memperingati Hari Pers Nasional (HPN). Berbagai isu kemerdekaan pers dibahas di sini. Sejak reformasi, pers meraih kebebasannya, sebagian media, sayangnya, terjebak dalam pola pemberitaan perang: menang-kalah.

Dalam kondisi Indonesia saat ini, pers sebaiknya memberi jalan bagi penyelesaian konflik, bukan justru menyiram bensin dalam kobaran api. Pers dapat mendorong bangsa ini untuk tetap berpikir positif, mendorong rakyat untuk bangkit menemukan masa depannya, bukan mendorong rakyat pesimistis -- duduk di bawah pohon kamboja.

Kini, lupakan jurnalisme perang: Alihkan perhatian ada puluhan juta orang yang tidak jelas masa depannya. Jangan biarkan mereka memejamkan mata karena takut pada kegelapan yang terbaca di koran-koran dan tayangan televisi, takut pada masa depan yang terlihat seperti kolam kecil berair keruh. (*)



----------

*) Asro Kamal Rokan; Pemimpin Redaksi Republika (2003-2005); Pemimpin Umum LKBN Antara (2005-2007); Pemimpin Redaksi Jurnal Nasional (2010-2012), Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat (2008-2013; 2013-2018), Anggota Dewan Penasihat Forum Pemred.

Oleh Asro Kamal Rokan *)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015