Jakarta (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai langkah pemerintah untuk mengalihkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar nabati (BBN) berbasis lahan adalah langkah keliru, utamanya dilihat dari aspek ekonomi.

Manager Kampanye Hutan dan Perkebunan WALHI Nasional Zenzi Suhadi dalam siaran pers yang diterima Antara News di Jakarta pada Selasa (10/2) mengatakan selama ini pemerintah telah memberikan lahan yang luas ke perusahaan sawit dengan alasan pemerintah butuh investasi karena tidak mampu mengelola lahan.

"Pemerintah justru mengeluarkan uang untuk menjadi pembeli tetap CPO dengan modus pengalihan subsidi.  Penambahan alokasi BBN sebesar Rp14,31 triliun, dari APBN 2015 sebesar Rp3,09 triliun menjadi RAPBN-P 2015 sebesar Rp17,40 triliun.  Hal itu sesungguhnya menghadirkan keuntungan semu bagi pemerintah. Pemerintah ingin mengurangi alokasi dana ke BBM Fosil sebesar Rp20 triliun tetapi mengeluarkan uang untuk pembelian Biodiesel dan Bioetanol senilai Rp17,40  triliun," kata Zenzi dalam siaran pers.

Dalam konteks keadilan atas penguasaan tanah, Alokasi tersebut menurut WALHI justru akan semakin meningkatkan kejahatan perampasan lahan, dimana  akan terjadi perubahan status masyarakat  dari pemilik dan pengguna tanah menjadi pekerja yang bergantung ke perusahaan perkebunan kelapa sawit.

"Ini jelas bertentangan dengan tujuan pokok Nawacita dan RPJMN yang menginginkan rakyat Mandiri dan Berdaulat. Penggunaan Uang dari pencabutan subsidi BBM untuk pembelian CPO sesungguhnya Pemerintah sedang berupaya mengunakan uang rakyat untuk membiayai proses perampasan terhadap hak rakyat atas tanah dan lingkungannya," katanya.

Sementara, dampak pada aspek lingkungan, pengalihan subsidi BBM ke BBN berbasis lahan akan memperparah laju deforestasi, karena akan menstimulus peningkatan ekspansi perkebunan kelapa sawit di hutan Indonesia.

"Dimasukannya bahan bakar nabati dari CPO diduga merupakan hasil lobi kelompok pengusahan perkebunan kelapa sawit ke pemerintah Indonesia pasca penolakan parlemen Eropa menggunakan bahan bakar nabati berbasis lahan untuk transportasi di Eropa, kegagalan peningkatan konsumsi pasar Eropa terhadap CPO mendorong pelaku usaha perkebunan sawit mensiasati dengan cara agar pemerintah Indonesia meningkatkan konsumsi CPO dalam negeri, di mana pemerintah dan rakyat menjadi pembeli tetap melalui pengalihan subsidi BBM," kata Sutopo.

WALHI juga menduga, selain untuk CPO, alokasi pengalihan dana subsidi BBM juga digunakan untuk keuntungan kelompok pengusaha yang saat ini sedang mendorong HTI Bioetanol yang mengancam 1 juta hektar hutan di Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, Maluku dan Papua.

"Mestinya kesempatan ini dapat digunakan menjadi modal pemerintah untuk mengambil langkah strategis penanggulangan persoalan lingkungan, dengan mendorong bahan bakar terbarukan alternatif melimpah di Indonesia, seperti angin dan tenaga surya, nabati non-lahan,  tanpa menimbulkan konsekuensi yang besar terhadap lingkungan," kata Zenzi.

Zenzi menambahkan, bila pertimbangan dana pencabutan subsidi BBM yang membebani kehidupan perekonomian masyarakat kecil dilakukan untuk memberi kontribusi dalam pengurangan emisi, maka mestinya pemerintah dapat menggunakannya untuk pembiayaan penyelamatan lingkungan secara langsung oleh masyarakat, sektor mikro yang dapat meningkatkan daya produksi masyarakat pedesaan, atau pemulihan lingkungan akibat emisi penggunaan baha bakar fosil selama ini.

"Bukan justru mengalihkan subsidi untuk pembelian CPO, tetapi menutup mata walau dampaknya terhadap iklim dan lingkungan semakin parah. Justru beban keuangan pemerintah akan meningkat untuk penangulangan bencana dan kerusakan lingkungan," katanya.

Pewarta: Ida Nurcahyani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015