... secara teoritik DPR tidak punya kewenangan menguji kepatutan dan kelayakan pejabat publik....
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat politik dari lembaga Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti, berpendapat, pemilihan pejabat negara yang menjadi hak prerogratif presiden, sebaiknya tidak lagi melalui uji kepatutan dan kelayakan di DPR. 

"Harus dibuat penegasan, di satu sisi lembaga negara non-pemerintah, di antaranya Komisi Yudisial, KPU, Bawaslu, bisa saja tetap melibatkan DPR," kata dia.

"Tetapi yang di bawah presiden tidak perlu lagi melibatkan DPR, di antaranya panglima TNI, kepala Kepolisian Indonesia, duta besar, gubernur BI, dan lain-lain," kata Rangkuti, di Jakarta, Kamis.

Dia menjelaskan, saat ini pejabat publik dari lembaga non-pemerintah tidak terlalu bersinggungan dengan parlemen dan partai politik secara pragmatis. 

Bagi pejabat publik non-pemerintah, kepentingan yang muncul hanyalah kepentingan tidak saling mengganggu.

Sedangkan untuk pejabat publik yang menjadi hak prerogratif presiden, yaitu panglima TNI, kepala Kepolisian Indoneaia, duta besar, dan gubernur BI adalah representasi negara, sehingga tidak perlu lagi melalui uji kepatutan di DPR.

Dia mengatakan, pada dasarnya secara teoritik DPR tidak punya kewenangan menguji kepatutan dan kelayakan pejabat publik. Kewenangan DPR terbatas pada regulasi, anggaran, dan pengawasan.

Tetapi, faktanya, pejabat publik dinilai tidak bisa muncul dari satu pintu, karena akan bernuansa kepentingan, maka disepakati DPR harus melakukan uji kepatutan dan kelayakan terhadap banyak pejabat publik.

Hal tersebut, menurut dia, bisa dimaklumi. 

Namun pada kasus calon kepala Kepolisian, Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan, yang telah melalui penjaringan berbagai pihak, namun tetap lolos dan ternyata ditetapkan tersangka.

Maka --pada kasus ini-- uji kepatutan dan kelayakan DPR terhadap pejabat publik yang menjadi hak prerogratif presiden sepertinya tidak diperlukan lagi.

Pewarta: Rangga Jingga
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015