Jakarta (ANTARA News) - Belum adanya pengobatan yang bisa menyembuhkan penyakit thalasemia, membuat penderita penyakit itu, terutama yang dalam kategori mayor,  harus menjalani transfusi darah seumur hidup.

"Penatalaksanaanya transfusi seumur hidup, itu nomor satu, untuk yang (thalasemia) mayor," ujar Kepala Divisi Hematologi Onkologi Ilmu Kesehatan Anak, RSCM, dr. Pustika Amalia, SpA(K), kepada ANTARA News di Jakarta, Minggu.

Transfusi darah sendiri sebenarnya bukannya tak berbahaya. Transfusi darah berulang menyebabkan zat besi akan tertimbun di seluruh organ, terutama jantung, hati, kelenjar endoktrin pembuat hormon di otak dan tulang. Akibatnya fungsi organ-organ itu akan terganggu.

Selain itu, transfusi darah mempunyai risiko tingi menularkan penyakit infeksi seperto hepatitis B, C dan HIV.

Oleh karena itu, penderita juga membutuhkan terapi kelasi besi untuk mengeluarkan kelebihan zat besi akibat transfusi darah terus menerus.  Terapi ini juga harus dilakukan seumur hidup penderita.

Menurut dia, penderita yang menjalani transfusi darah dan terapi ini bisa bertahan hidup hingga mencapai 50-tahunan.

"Kalau jaman dulu, transfusinya lambat, tidak ada obat kelasi besi, itu paling bisa bertahan sampai delapan hingga 15 tahun.Namun, sekarang ada yang bisa sampai usia 43, 50 tahunan," kata dia.

Namun, jika penderita terlambat melakukan pengobatan misalnya karena terlambat deteksi, maka risiko kematian tak dapat terhindarkan.  

"Kalau tidak transfusi ya HB nya rendah, mudah lelah lama-lama, meninggal akhirnya," tutur dr. Pustika.

Selain pengobatan, penderita juga harus menghindari konsumsi makanan dengan kandungan zat besi tinggi seperti daging merah dan jeroan. Sebaliknya, mereka disarankan mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti susu, keju, gandum.

Sementara bagi penderita thalasemia minor, dokter menganjurkan untuk mengonsumsi obat-obatan yang mengandung zat besi. Namun, bila mereka menderita kekurangan zat besi.  

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015