Bagaimana kondisi riil Setu Babakan yang sering disebut sebagai "benteng terakhir kebudayaan Betawi?" Apakah cukup siap menjadi ikon tujuan wisata sekaligus sebagai ranah perlindungan tata nilai budaya?

Bagaimana pula alternatif perbaikan dan pengembangannya di masa datang? setidaknya itu semua bisa diteropong dari jejak ilmiah buku berjudul "Setu Babakan, Dari Penelitian ke Penelitian."

Buku ini adalah cuplikan 24 penelitian dari berbagai perguruan tinggi tentang Perkampungan Budaya Betawi di kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan. Aspek yang diteliti cukup beragam yakni tentang pengelolalan budaya, tentang lingkungan hingga partisipasi masyarakat di tanah konservasi budaya tersebut.

Penggagas buku adalah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta dan Lembaga Pengelola Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan. Mungkin mereka berharap buku ini bisa menjadi acuan untuk
mengembangkan Setu Babakan, setidaknya untuk memudahkan mereka melihat sisi akademis tanpa repot-repot mencari dan membaca skripsi dan tesis satu persatu.

Cetakan pertama buku yang terbit Oktober 2014 ini diawali dengan karya-karya ilmiah tentang alternatif strategi pemasaran yang dikemas dengan bahasa cukup popular dengan judul bab Jangan Gagal Membaca
Trend. Memang tantangan yang dihadapi Setu Babakan cukup unik karena bukan hanya dilihat dari sisi komersial namun juga harus tetap mengedepankan aspek manajemen berbasis budaya. Saran yang ditawarkan cukup menarik dan patut dibaca oleh siapa saja yang ingin belajar manajemen pemasaran.

Tampaknya Setu Babakan memang belum maksimal berfungsi sebagai wadah konservasi seni budaya Betawi yang mampu memberikan perlindungan tata nilai budaya sekaligus sebagai destinasi wisata. Hal ini jelas tergambar dalam bab II yang berjudul: Aspek Pariwisata, Ikon Masa Depan Yang Menjanjikan.

Pada bagian ini tulisan ilmiah tersebut telah diramu dalam gaya bahasa yang mudah dicerna termasuk poin-poin saran teknis yang cukup detail terkait perbaikan kualitas pertunjukan, bangunan, kebersihan,
tanaman, permainan anak, lokasi pemancingan serta sarana dan prasarana lainnya. Juga banyak saran terkait perbaikan aspek manajemen, produk yang ditawarkan, promosi, pelayanan dan harga.

Ada juga bahasan tentang komparasi wisata budaya di wilayah dan negara lain halaman 43-45, bahkan sudah ada tahapan pembangunan yang diawali dari masa pembentukannya (tahun 2011-2012), tahap transisi (2013-2018) hingga tahap maturity (tahun 2018 ke atas) yang disusun dalam tabel di halaman 64 hingga 68.

Bab selanjutnya diberi judul Menyoal Respon Orang Betawi. Di sini pembaca disuguhi rangkuman tentang "Kebetawian di Kampung Betawi ". Juga tentang konsumsi tayangan televisi berlatar belakang budaya Betawi.

Menarik dicermati tulisan di paragraf terakhir halaman 89 sebagai berikut: "Kampung halaman orang Betawi kini lebih banyak diwarnai oleh budaya metropolitan, urban-industrial yang serba gemerlap dan sekuler tanpa menampilkan kearifan budaya Betawi yang religious dan egaliter."

Tulisan tersebut diiringi dengan saran agar ada upaya meningkatkan pendidikan masyarakat agar masyarakat makin cerdas, yang diiringi dengan harapan agar mereka lebih kritis. Sikap kritis sangat dibutuhkan dalam menyikapi tayangan berlatar budaya Betawi yang kerap kali mengeneralisir orang Betawi sebagai pemalas, mudah dibodohi, tukang kawin, berpendidikan rendah dan sebagainya. (halaman 94).

Mungkin buku ini harus memberikan ruang lebih banyak lagi bagi penelitian-penelitian tentang antropologi budaya, perubahan sosial, bahkan mungkin juga harusnya memasukkan unsur kajian sejarah orang Betawi.

Pembahasan dari sudut antropologi budaya ini harusnya mendapat porsi lebih besar, agar pembaca lebih utuh memahami masyarakat Betawi. Bahkan mungkin penyusun bisa memasukkan lebih banyak kajian tentang perubahan sosial karena hakekatnya pembangunan kota adalah pembangunan masyarakat dan identitasnya.

Meskipun demikian, buku ini dirasa cukup bagus karena berhasil memunculkan pembahasan tentang aspek lingkungam, aspek partisipasi publik dan kuliner yang menjadi bahasan pada tiga bab berikutnya.

Pada bagian akhir dari tiap bahasan tepatnya setelah pergantian bab diselipkan foto hitam putih untuk memudahkan pembaca membayangkan bentang alam, arsitektur dan tata ruang, aneka makanan, lingkungan
hayati dan situasi Setu Babakan serta kegiatan pengurusnya.

Memang penelitian ilmiah memiliki keterbatasan karena tatarannya adalah kondisi ideal, yang memiliki tantangan bila diterapkan dalam kehidupan nyata. Namun paling tidak, sumbangan ilmiah untuk
pengembangan Setu Babakan sudah di depan mata. Selanjutnya tinggal keberanian pengambil kebijakan menentukan pilihan strategis dan siap mengawal pada tataran pelaksanannya.

Bisa dikatakan hampir semua bagian isi buku mencoba melihat bahwa Setu Babakan adalah tempat untuk menyelamatkan, mengangkat dan merayakan identitas Betawi ditengah situasi yang nyaris nirbudaya seperti sekarang ini. Buku ini juga menitik beratkan keunggulan berbasis identitas yakni keunggulan komparatif dibanding daerah lain, meski ada pertanyaan ikutannya: apakah keunggulan komparatif tersebut sejalan dengan kepentingan warga?

Lebih jauh, eksistensi Setu Babakan minimal bisa menjadi alternatif rujukan tentang Betawi, keberadannya sudah menjadi peta mental dan sumber pemberitaan di media masa serta menjadi ladang penelitian atau
laboratorium.

Kenapa Setu Babakan bisa disebut laboratorium, karena tempat ini menjadi wahana riset ilmiah, eksperimen, pengukuran dan kegiatan pelatihan ilmiah. Nampaknya kita perlu mengapresiasi setiap kegiatan yang mengerucut pada bentuk penghormatan kepada budaya penduduk asli Jakarta. Lebih jauh DKI Jakarta harus tetap mengembangkan ibukota sebagai kawasan beridentitas atau kawasan yang berkarakter.

Karakter ini penting dalam kaitannya dengan konsep membangun Jakarta: "city branding" atau citra kota Jakarta.

Buku ini bukan hanya bentuk penghormatan kepada para peneliti tentang Setu Babakan, namun bisa menjadi wujud rasa syukur Jakarta agar menarik manfaat hasil penelitian untuk berbenah mewujudkan perkampungan budaya yang berbasis pengetahuan dan kecerdasan.

*) Manajer Pusat Data & Riset Perum LKBN ANTARA

Oleh Dyah Sulistyorini*)
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015