Jakarta (ANTARA News) - Hanya sedikit dari masyarakat Indonesia memahami bahwa frekuensi merupakan milik publik karena untuk mengelola frekuensi menggunakan pajak masyarakat.

Berdasarkan riset yang dilakukan Remotivi baru baru ini, terkuak bahwa 57 persen masyarakat Indonesia menganggap frekuensi publik milik perusahaan, 34 persen menganggap milik pemerintajh dan hanya delapan persen yang sadar bahwa frekuensi publik milik publik.

"Masyarakat sebenarnya dirugikan oleh tayangan yang buruk dan mereka harus bertindak karena frekuanesi publik ini milik masyarakat," kata Roy Thaniago Direktur Remotivi dalam peluncuran aplikasi Remotivi di Jakarta, Sabtu.

Roy berharap masyarakat yang menyadari frekuensi publik merupakan penunjang demokrasi bisa memanfaatkan aplikasi Remotivi untuk menyampaikan keluhan dan pelanggaran tayangan televisi.

Sementara itu, Roy memaparkan minimnya angka kesadaran masyarakat akan kepemilikan frekuensi publik menyebabkan banyak tayangan tidak layak tetap tersiar tanpa ada yang melapor dan tindakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

"Pada dasarnya KPI belum akrab dikenal masyarakat indonesia dan tidak ada jaminan juga setiap pelaporan warga akan ditindak oleh KPI," kata Roy Thaniago.

Roy menjelaskan, aplikasi Rapotivi pernah diberi nama "Lapor KPI" namun ditolak oleh KPI.

"Kami harap dengan menggunakan Rapotivi, tayangan televisi bisa dinilai masyarakat dari tangan mereka sendiri," katanya.

Selain itu, dengan meningkatnya pemahaman warga tentang tayangan yang tidak sehat akan membuat acara tersebut tidak memiliki pengiklan.

"Pengiklan bisa melihat untuk tidak memasang iklan di tayangan tertentu," kata Roy.

Pewarta:
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015