... agar terjadi perimbangan antara jumlah pesawat, jumlah rute, jumlah kru, dan kemampuan manajemen...
Jakarta (ANTARA News) - Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mendorong Kementerian Perhubungan mengevaluasi bahkan memangkas alias mengurangi rute-rute penerbangan Lion Air menyusul keterlambatan dan pembatalan penerbangan besar-besaran pada Rabu (18/2) hingga Jumat (21/2) lalu.




"Rute Lion Air harus dikurangi beberapa persen agar terjadi perimbangan antara jumlah pesawat, jumlah rute, jumlah kru, dan kemampuan manajemen," ujar Koordinator Komisi Komunikasi dan Edukasi BPKN, David ML Tobing, di Jakarta, Senin.




Menurut dia, Lion Air harus serius mengubah perilakunya menjadi memprioritaskan perlindungan konsumen daripada sekadar mencari keuntungan demi membayar hutang untuk membeli atau menyewa pesawat.




Maskapai penerbangan milik Rusdi Kirana --anggota Dewan Pertimbangan Presiden-- ini memang sangat ambisius dalam mengembangkan jumlah armadanya. Hingga 2014, dia telah memesan pasti 508 unit pesawat terbang baru, gabungan dari Boeing, Airbus, dan ATR.




Hutang yang harus dibayar untuk membeli semua pesawat terbang baru itu (hanya unit pesawat terbangnya saja, belum aspek penyediaan-pemeliharaan SDM, sistem logistik, perawatan, dan lain sebagainya), sekitar 52,7 miliar dolar Amerika Serikat. 




Hingga saat ini, Lion Air mengantongi izin menerbang 600 rute di Tanah Air dan regional, yang dilayani 101 unit pesawat terbang operasionalnya. 




Secara sederhana, jika ke-101 unit pesawat terbangnya itu dalam keadaan baik dan layak terbang, maka masing-masing pesawat terbang harus terbang enam kali sehari untuk melayani para pemakai jasanya.




Jika diasumsikan pesawat terbang itu adalah Boeing B-737 series, maka Lion Air harus melayani 108.000 pemakai jasa sehari. 




Tobing juga mendesak Menteri Perhubungan, Ignasius Jonan, segera merevisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77/2011 tentang Tanggung Jawab Maskapai terutama di bagian jumlah pemberian ganti rugi bagi penumpang korban keterlambatan dan pembatalan penerbangan.




"Karena bukan hanya nilai tiket yang merupakan kerugian konsumen tetapi masih banyak lagi antara lain transportasi ke dan dari bandara, maupun kerugian immaterial lainnya," tuturnya.




Untuk itu, katanya, harus ditetapkan indikator utama kinerja maskapai penerbangan, yaitu persentasi ketepatan waktu tiba pesawat di tujuan, sehingga otomatis waktu berangkatnya pun harus tepat waktu.




Ini untuk menghindari penumpang dimasukkan ke pesawat namun terlambat diterbangkan. Bila tidak mencapai target tersebut, maka pihak otoritas bandara berhak memberikan peringatan keras kepada maskapai penerbangan.




"Dengan demikian diharapkan semua subsistem terkait harus diperbaiki maskapai penerbangan agar indikator utama tersebut bisa dicapai," katanya.




BPKN juga menilai perlu dibentuk sistem penyelesaian sengketa yang prosesnya cepat, bukan mengikuti prosedur penyelesaian sengketa yang saat ini berlaku yang memakan waktu tahunan karena di UU Nomor 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen kerugian harus diganti dalam jangka waktu tujuh hari.




"Kejadian seperti ini diharapkan tidak terulang lagi dan semua maskapai penerbangan dapat melaksanakan penerbangan tepat waktu sesuai jadwal yang mereka agendakan sendiri," tutur Tobing.




Pada penundaan hingga pembatalan masif Lion Air pada Rabu-Jumat pekan lalu itu, diketahui 10 unit pesawat terbang cadangan Lion Air sedang dirawat sehingga tidak bisa diterbangkan "menambal" rute-rute bermasalah itu. 




Manajemen Lion Air juga sudah mengakui ada ketidakserasian data dan kerja sama antara direktorat perawatan material pesawat terbangnya dengan pemasaran-promosi, yang memasarkan kursi secara sangat ekspansif.

Pewarta: Yashinta Pramudyani
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015