Jakarta (ANTARA News) - Melalui pembahasan yang cukup alot dan seksama, Mudzakarah Perhajian Nasional 2015 yang berlangsung 25-27 Februari di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta mengeluarkan dua butir rekomendas terkait istithaah (kemampuan) kesehatan calon jamaah haji.

Kedua rekomendasi ini berdasarkan pada tujuh poin pertimbangan rumusan istithaah kesehatan pada rapat pleno peserta mudzakarah, Kamis (26/2) malam yang dipimpin Dirjen Penyelenggara Haji dan Umrah Abdul Djamil.

Rekomendasi pertama, meminta pemerintah untuk segera membuat regulasi setingkat surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri.

“Pemerintah agar membuat regulasi bersama dalam bentuk keputusan bersama tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Perhubungan) terkait batasan jamaah haji Indonesia yang memenuhi istithaah kesehatan,” demikian bunyi rekomendasi pertama seperti disiarkan laman resmi Kemenag, Jumat.

Sedangkan rekomendasi kedua menyatakan agar pemerintah mensosialisasikan istithaah kesehatan haji kepada masyarakat.

“Ini agar tidak terjadi pemahaman yang keliru,” demikian Dirjen Abdul Djamil sebelum menutup mudzakarah yang dihadiri Direktur Pembinaan Haji Muhajirin Yanis.

Rekomendasi yang sebelumnya dibahas pada rapat komisi ditandatangani oleh Kepala Balitbang Kemenag, Abdul Rahman Mas’ud; Kepala Pusat Kesehatan Haji Kemenkes Fidiansjah; Kasubdit Kesehatan Kemenkes Etik Retno Wiyati; dan pengurus PBNU Mahbub Ma’afi: peneliti pada Puslitbang Pendidikan Agama Kemenag Husen Hasan Basri; serta peserta yang lain.

Mudzakarah yang diikuti 100 orang peserta, terdiri atas para ulama dan perwakilan ormas-ormas Islam, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejumlah daerah dan sejumlah pakar kesehatan, juga membuat rumusan tentang hukum melakukan haji berkali-kali.

Disebutkan bahwa kewajiban haji itu hanya sekali seumur hidup. Jika seseorang berhaji kembali (berulang-ulang) hukumnya tathawwu (sunnah). Sunnah yaitu perbuatan yang jika dilaksanakan akan memperoleh nilai keutamaan, akan tetapi jika tidak dikerjakan tidak berdosa.

Bahkan, lanjut Djamil, Rasulullah SAW yang punya kesempatan berkali-kali, hanya melaksanakan ibadah haji satu kali yaitu pada tahun 10 hijriyah, yang dikenal dengan haji wada. Jika diwajibkan setiap tahun pasti akan memperberat umat Islam sehingga tidak mungkin mampu melaksanakan.

Djamil menambahkan, melakukan haji berulang di tengah kondisi keterbatasan kuota haji, bisa membawa dampak negatif. Antara lain, mengurangi, bahkan menghilangkan kesempatan orang yang berkewajiban menunaikan ibadah haji, karena jatahnya diambil oleh orang yang melaksanakan ibadah haji sunnah atau haji berulang. Maka ada kewajiban pemerintah mendahulukan yang wajib ketimbang yang sunnah.

Kegiatan Mudzakarah Perhajian Indonesia menurut panitia Ali Rokhmat, rutin dilakukan sekali dalam setahun. Kegiatan ini sudah memasuki tahun ke enam. Pada tahun ini membahas istithaah kesehatan dan haji berulang-ulang. Tahun lalu tentang status setoran awal BPIH dan pembayaran dam.

Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2015