Jakarta (ANTARA News) - Indonesia Synergy dan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCI NU) Australia dan Selandia Baru menggelar diskusi “Muslims in Australia after the Sydney Siege” Kamis (26/2) di kampus Australian National University (ANU) di Canberra.

Siaran pers Indonesia Synergy menyebutkan, diskusi mengenai Muslim di Australia setelah Tragedi Sydney itu menghadirkan pembicara Associate Professor Greg Fealy, Dr Asmi Wood dan Associate Profesor Nadirsyah Hosen, serta dimoderatori oleh Awidya Santikajaya (mahasiswa PhD Diplomacy di ANU).

Lebih dari 40 peserta menghadiri diskusi ini, termasuk mahasiswa tokoh Islam maupun Katolik Indonesia di Canberra dan dari masyarakat profesional.

Greg yang merupakan Head of Department Political and Social Changes di ANU menegaskan bahwa pasca penyanderaan di Sydney pada 16 Desember 2014, hubungan muslim dan non-muslim di Australia secara umum tetap baik. 

Meskipun demikian, ada aktivitas yang bertendensi Islamofobia seperti penolakan terhadap produk halal yang semakin ramai pasca peristiwa Sydney.

Beberapa kelompok sayap kanan mengekspresikan crypto-racialism karena mereka terlalu khawatir dan mempolitisasi isu dan persepsi negatif tentang muslim. 

Lebih lanjut Greg menyayangkan pemerintah Tony Abbott yang banyak melakukan blunder dalam menyikapi potensi gesekan antara muslim dan non-muslim, misalnya dengan slogan “Team Australia”. 

Meskipun slogan ini pada awalnya dimaksudkan untuk mengajak lebih banyak pemimpin Islam di Australia yang mempromosikan perdamaian, kampanye “Team Australia” seolah-olah menjelaskan bahwa komunitas muslim tidak mengutuk terorisme, padahal selama ini masyarakat muslim di Australia telah mengutuk aksi-aksi kekerasan.

Sementara itu, Dr Asmi Wood yang merupakan Senior Lecture di College of Law ANU dan juga merupakan tokoh aborigin yang beragama Islam, menjelaskan bahwa karena tragedy Sydney dilakukan oleh seseorang yang memang merupakan kriminal, maka komunitas muslim tidak boleh disalahkan.

Asmi Wood menyarankan perlunya keterbukaan, dialog dan kerja sama antar berbagai komunitas di Australia untukmeningkatkan rasa saling percaya. 

Pemerintah juga harus mendengarkan pendapat dari berbagai komunitas secara luas, tidak hanya sebagian kecil kelompok. 

Nadirsyah Hosen, dosen di Wollonggong University danjuga Ro’is Syuriah PCI NU menyayangkan bahwa isu kekerasan selalu dikaitkan dengan terorisme. 

Hal ini telah memecah belah masyarakat yang sayangnya tidak diatasi oleh pemerintah. 

Gus Nadir, panggilan akrab Nadirsyah Hosen, juga menyayangkan adanya sikap eksklusifitas di kalangan muslim di Australia dengan alasan ingin menjaga identitas dan keimanan tidak banyak bergaul dengan masyarakat Australia. 

Dalam ranah diplomasi internasional, Nadir juga menyarankan agar pemerintah Australia lebih proaktif dan berkontribusi positif dalam isu yang sering dijadikan alasan dalam terorisme, seperti konflik Palestina-Israel. 

Dalam sesi tanya jawab, mengemuka beberapa ide, di antaranya masyarakat Indonesia di Australia berpotensi mengambil peran strategis dengan menjadi inisiator dan penggerak bagi terciptanya hubungan yang lebih konstruktif dan positif bagi muslim serta aktif mengupayakan dakwah yang sesuai dengan keadaan kontekstual masyarakat Australia.

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015