Jakarta (ANTARA News) - Indonesia Corruption Watch menyatakan pelipahan kasus Komjen Pol Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung merupakan langkah mundur.

"Pelimpahan perkara korupsi BG (Budi Gunawan) ke kejaksaan merupakan langkah mundur pertama kerja pelaksana tugas (plt) pimpinan KPK pasca-dilantik Presiden. Langkah ini sangat mengecewakan dan memberikan pesan buruk ke publik bahwa KPK sudah melemah dan akan menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi," kata Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW Emerson Yuntho di gedung KPK di Jakarta, Senin.

Hari ini KPK menyatakan melimpahkan kasus BG ke Kejaksaan Agung dan terbuka peluang kasus itu diserahkan ke Polri meski Polri sudah pernah menyelidiki kasus itu pada 2010 dan menyatakan bahwa Budi Gunawan bersih.

"Jangan-jangan gebrakan plt pimpinan ini tidak akan berhenti dan akan membuat KPK dalam posisi lemah. Ibarat pepatah, KPK ini sudah jatuh tertimpa tangga, karena kalah di praperadilan, ada dua pimpinan KPK yang menjadi tersangka, dua pimpinan dinonaktifkan dan terakhir pelimpahan kasus BG ke kejaksaan. Kalau di sepak bola, KPK tertinggal 0-4, tidak ada perlawanan balik oleh KPK," ungkap Emerson.

Emerson mengungkap sejumlah alasan mengenai kekecewaan mengenai pelimpahan kasus tersebut ke kejaksaan.

"KPK terlalu cepat menyerah melawan putusan praperadilan yang dikeluarkan hakim Sarpin. Kasasi belum keluar putusan, PK juga belum diajukan jadi seharusnya tidak boleh give up dulu.

Alasan kedua adalah, ICW meragukan objektivitas Kejaksaan dalam melanjutkan penyidikan kasus tersebut.

"Ini riskan untuk disalahgunakan dan bisa saja dihentikan karena tidak mungkin polisi menyidik korpsnya sendiri, misalnya dalam kasus Alkom Jarkom yang merugikan keuangan negara hingga ratusan miliaran rupiah yang diusut polisi tidak jelas sampai di mana. Tidak ada supervisi di kejaksaan," ungkap Emerson.

Apalagi, Jaksa Agung saat ini adalah HM Prasetyo yang merupakan mantan politisi partai Nasional Demokrat (Nasdem).

"Kenapa ragu dengan kejaksaan? Karena kejaksaan dipimpin oleh HM Prasetyo yang adalah politisi Nasdem dan salah satu partai yang mendorong BG sebagai kapolri terpilih," tambah Emerson.

Ketiga, ICW menilai tidak ada proses imbang karena tidak ada upaya untuk menghentikan proses kriminalisasi terhadap pimpinan KPK yaitu Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.

"Nasib AS dan BW ini tidak jelas, teman-teman di koalisi menilai potensi perkara AS dan Bw adalah upaya balas dendam dalam proses penegakkan hukum dilihat dari rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM," ungkap Emerson.

Selanjutnya, sikap KPK yang mudah menyerah itu memberikan kerugian kepada KPK karena mengurangi kepercayaan publik.

"KPK yang mudah menyerah ini akan menjadi pengurangan kepercayaan publik terhadap KPK karena publik menilai KPK segan dalam pemberantasan korupsi. Penilaian publik bahwa KPK adalah lembaga yang disegani dalam pemberantasan korupsi berubah menjadi lembaga yang segan dalam upaya pemberantasan korupsi," jelas Emerson.

Alasan kelima adalah tindakan KPK ini berpotensi ditiru oleh pelaku korupsi lainnya.

"Mengapa BG dilimphkan ke Kejaksaan tapi saya tidak? Ini akan jadi efek bola salju yang akan muncul ke kasus-kasus lain. Mereka akan berlomba untuk meminta agar kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan atau kepolisian," ungkap Emerson.

Alasan terakhir adalah KPK telah menyia-nyiakan dukungan publik karena sejak kriminalisasi publik tidak henti memberikan dukungan kepada KPK agar mengusut tuntas perkara Budi Gunawan.

"Namun belum genap dua pekan sejak pelantikan tiga plt, KPK justru mengambil langkah kontroversial yang mengecewakan. Kami kecewa dengan langkah KPK setlah dipimpin tiga plt pimpinan ini," tambah Emerson.

Ia juga mengkritik plt Ketua KPK Taufiequrachman Ruki yang berasal dari unsul Polri.

"Ruki mengalami konflik kepentingan karena merupakan mantan jenderal polisi. Apa misi Pak Ruki dipilih menjadi plt? Mau menyelamatkan KPK atau menyelamatkan kasus-kasus tertentu? Jangan-jangan ini bukan gebrakan kasus pertama atau terakhir? Jangan-jangan kasus BLBI, Century juga akan dihentikan?" kata Emerson.

Emerson juga menilai kunci penyelesaian kasus BG terletak pada Presiden Joko Widodo.

"Kuncinya adalah Jokowi karena dia tidak berani mengambil sikap. Harusnya Jokowi bisa memerintahkan gelar perkara khusus atau melibatkan tim independen dalam perkara ini. Jokowi melakukan pembiaran atas kriminalisasi KPK dan jalan tengah memberhentikan BW dan AS. Kalau di zaman SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) KPK masih kuat meski dikriminalisasi, tapi di masa Jokowi KPK malah menyerah," ungkap Emerson.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015