Jakarta (ANTARA News) - Kasus difteri yang tak mereda sejak 2006 bahkan hingga ditetapkan sebagai kejadian luar biasa, pada beberapa daerah, menunjukkan tidak meratanya program imunisasi di Indonesia, ujar Anggota Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Prof. Dr. dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, SpA(K). 

Lebih lanjut, menurut dia, pada 2006 lalu jumlah kasus difteri mencapai 432 kasus. Sementara pada tahun 2014 lalu, tidak kunjung mereda, dengan jumlah 394 kasus. 

"Dari kasus difteri, 68 - 74 persen di antaranya adalah anak di bawah umur 15 tahun. Sedangkan sisanya dewasa dan lansia," kata dia dalam temu media tentang "Perkembangan Program Imunisasi di Indonesia", di Jakarta, Rabu. 

"Kita bisa lihat kasus difteri di Kabupaten Situbondo pada 2012, menunjukkan tidak meratanya imunisasi," tambah dia. 

Menurut dr. Sri, apabila cakupan imunisasi merata dan tinggi di seluruh pelosok tanah air, maka KLB difteri tidak akan terjadi. 

Dia mengatakan, bila memakai tolak ukur Universal Child Immunization (UCI), suatu desa dikatakan merata imunisasinya jika mencapai angka lebih dari 80 persen. 

Namun, angka tersebut pada beberapa provinsi seperti Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara dan Papua, yang hanya mencapai 52,4 - 74 persen. dr. Sri menambahkan, tindakan imunisasi merupakan upaya pencegahan melalui pemberian vaksin sehingga terjadi kekebalan terhadap penyakit infeksi yang berbahaya pada bayi dan anak. 

Organisasi kesehatan dunia (WHO) mencatat, saat ini masyarakat dunia masih terancam penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Penyakit-penyakit itu antara lain, hepatitis B, polio, difteri, tetanus, campak dan pertusis (batuk rejan).

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015