Jakarta, 5/3 (Antara) - Putusan Praperadilan hakim tunggal Sarpin Rizaldi, pada 16 Februari 2015 dalam kasus Komjen Budi Gunawan, hingga kini masih menyisakan pro dan kontra di kalangan praktisi hukum. Tampaknya adanya perbedaan itu tak berujung, ibarat sumur tanpa dasar.

Hal itu terjadi lantaran adanya perbedaan perspektif asumsi hukum. Apakah dampak dari putusan Sarpin itu dapat melemahkan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia, ataukah putusannya justru punya kemanfaatan yang lebih luas.

Guru Besar pidana dari Universitas Padajajaran, Romli Atmasasmita, pekan lalu di Jakarta mengatakan, putusan Sarpin Rizaldi, seorang hakim senior dengan golongan pangkat IV/D, atau setara guru besar, cukup berani, tegas, dan mumpuni dari sisi ilmu hukum.

Putusannya, kata Romli, sudah sesuai Pasal 5 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat."

Pendapat itu sejalan Pasal 10 ayat (1) UU Kehakiman yang menyebutkan, pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa, dan mengadilinya.

Dengan demikian, Pengadilan Negei Jakarta Selatan sesungguhnya tidak sedang berikhtiar menemukan hukum, tetapi melaksanakan amanat UU Kekuasaan Kehakiman meskipun putusannya berdampak silang pendapat antara sesama praktisi hukum.

Aliran menggali hukum di luar dari peraturan perundang-undangan di negara Common law, seperti Amerika Serikat sudah biasa dilakukan oleh para juris di negeri itu, namun di Indonesia hal itu baru dirintis sejak Mochtar Kusumaatmadja dan Satjipto Rahardjo, menjadi guru besar (Romli, 2012) yang menyebutkan, hukum itu harus sesuai dengan pikiran masyarakatnya, oleh karenanya penerapannya perlu secara progresif.

Sementara pihak yang kontra dengan pendapat Sarpin, seperti Ketua mantan Hakim Agung, Harifin Tumpa mengatakan, "saya kira kita menghormati putusan hakim tapi dari segi hukum banyak menimbulkan pertanyaaan, aneh. Hakim berpendapat karena penetapan tersangka tidak diatur maka bisa dijadikan objek, tidak boleh seperti itu. Hakim sudah memperluas kewenangan praperadilan. Itu tidak benar."

Hal senada dikatakan, mantan Ketua Muda MA bidang Pidana Khusus, Djoko Sarwoko bahwa, pendapat Sarpin itu tersesat! Ngawur. Hakim terbawa arus, harusnya menolak, karena menyimpang dari aturan yang ada.

Pendapat yang kontra didasarkan pada bab X Praperadilan, Pasal 77 UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Pasal itu hanya mengatur kewenangan praperadilan terbatas pada sah tidaknya penangkapan, penahananan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, termasuk pemberian ganti rugi dan rehabilitasi terhadap orang yang dirugikan.

Dalam teksnya, tidak menyebut orang tersangka, sehingga dinilai melebihi dari kewenangannya dalam menafsirkan pasal UU itu. Aliran seperti itu dalam ilmu hukum disebut mazab positivisme yang juga sudah berkembang sejak abat 18 dengan tokoh utamanya, Hans Kelsen, pemikir hukum dari Jerman, yang didukung oleh para sarjana lainnya seperti John Austin dan H.L.A Hart, dimana hukum jangan dicampuradukkan dengan konfigurasi politik, agama dan moral. Hukum positif harus dijalankan sesuai dengan teksnya.

Tidak dapat ditafsirkan berbeda di luar teks yang dikehendaki penguasannya. Hal itu akan menjadi masalah ketika para penegak hukum mencampuradukkan antara kepentingan kelompok dengan teks hukum. Dengan begitu hukum positif atau hukum murni, tak dapat dilaksanakan lantaran sudah adanya niat jahat atau terkontaminasi dari para penegak hukum itu.

Itulah sebanya, muncul berbagai teori hukum untuk menyempurnakan teori hukum positif itu, apakah masih layak di pertahankan di Indonesia atau tidak.


Menunggu putusan KY

Menguji efek dari putusan Sarpin Rizaldi, bermanfaat bagi masyarakat hukum yang lebih luas atau justru melemahkan gerakan pemberantasan korupsi, banyak pihak masih menunggu putusan komisi Yudisial yang oleh UUD diberikan amanat salah satunya mengawasi perilaku para hakim dalam memutus perkara itu.

KY memang tidak dapat membatalkan atau memperkuat putusan seorang hakim. Hal itu sesuai dengan UU RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 3 ayat (2) yang menegaskan bahwa "segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945".

Oleh karenanya, pemanggilan KY tidak pada urusan materi putusan, melainkan pada urusan prosedur dan etika seorang hakim dalam mengadili suatu perkara. Itu sebabnya, banyak pihak ingin melihat apakah putusan KY terhadap hakim Sarpin yang diadukan oleh para penggiat korupsi/ Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam kasus Praperadilan BG, yang diadukan oleh para pengamat hukum dan penggiat anti korupsi, apakah akan netral atau berstandar ganda ?

KY agaknya tidak mudah untuk memutuskan apakah Sarpin termasuk melanggar etika atau prosedur karena dalam sidang terbuka itu semua orang dapat melihatnya secara langsung ataupun lewat layar lebar TV dan sebagainya.

Masalahnya, jika KY tidak memutus seperti harapan para penggiat korupsi, seolah KY dijadikan bagian dari kelompok Sarpin Cs. Jika putusan hanya didasarkan pada desakan "publik", maka putusan akan bermakna ganda.

Dengan begitu perlu ada kajian mendalam tentang putusan Sarpin tersebut, tidak cukup dikaji dengan etika atau prosedur. KY dalam memutus seyogianya melihat trend ilmu hukum kedepan (iuscontitendum), tidak semata-mata menjalankan hukum positiv tetapi juga melihat aspek kemanfaatan lebih luas terhadap putusan hakim itu.

Aspek yang lebih luas, seperti yang disampaikan Romli Atmasasmita, semangat hukum yang harus dikembangkan di Indonesia jangan sampai melukai seseorang, siapapun orangnya. Artinya, Indonesia sudah meratifikasi HAM internasional yang dituangkan lewat UU No 39 Tahun 1999 untuk menghargai hak pribadi, hak politik termasuk didalamnya hak ekonomi.

Dengan begitu para penegak hukum dapat saja menindak para penjahat, koruptor atau orang yang diduga bersalah, namun semua itu harus dilakukan tidak boleh menabrak norma utama, yakni merendahkan martabat seseorang sebagai manusia seutuhnya.

Presiden Joko Widodo sejak dilantik sudah mengingatkan akan perlunya merekonstruksi hukum positif yang masih berbau kolonial. Banyak Peraturan Perundang-undangan dimentahkan Hakim Konstitusi lantaran hukum itu dinilai banyak melukai rakyat. Nawa Cita bidang hukum Pemerintahan Joko Widodo, memanusikan manusia seutuhnya, basisnya Pancasila, sebagai ground norm (norma dasar).

*Penulis keduanya dari Pusat Study Hukum Jakarta, (LSHJ) dan pengajar di FH Usaid, Jakarta.

Oleh Dr Laksanto Utomo dan Theo Yusuf MS
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015