Jambi (ANTARA News) - Kementerian Sosial mengakui bahwa 11 orang rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Sarolangun-Batanghari, Jambi, meninggal karena kelaparan.

Kasubdit Kerjasama Kelembagaan Evaluasi dan Pelaporan Kemensos RI, Laude Taufik di Jambi, Jumat, mengatakan, penyebab meninggalnya 11 orang rimba itu ia ketahui setelah dirinya turun langsung ke lapangan bersama KKI WARSI, dinas Sosial, Kesehatan dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jambi (5/3).

"Kementerian Sosial sudah turun langsung ke lapangan untuk mengecek kebenaran seperti yang diberitakan sejumlah media. Tujuan kita mengklarifikasi dan memverifikasi kejadian sebenarnya. Kami juga berdialog dengan orang rimba, memang kondisi mereka mengalami krisis pangan," kata Taufik, saat jumpa pers di kantor WARSI Jambi (6/3).

Dia menjelaskan, sejak kejadian pertama meninggalnya orang rimba, mereka langsung "melangun" (Berpindah) berkali-kali. Namun selama melangun mereka tidak mendapatkan pasokan-pasokan makanan yang cukup sehingga fisik mereka melemah.

"Kejadian pertama di sungai Jernih, sekarang mereka sudah ada di sungai Kejasung, di sini juga mengalami kematian. Total orang rimba yang meninggal dalam kurum waktu dua bulan berjumlah 11 orang, tiga orang tua dan delapan Balita," jelasnya.

Krisis pangan atau bekal makanan selama mereka melangun itu terbatas, sehingga kondisi fisik mereka sangat rentan terhadap kondisi perubahan iklim cuaca dan lain-lain terutama anak-anak. Penyakit apapun yang masuk tentu menjadi ancaman jiwa mereka.

Taufik mengungkapkan, Menteri Sosial berpesan agar memberikan santunan kepada keluarga yang ditinggalkan, yakni berupa kebutuhan sembako, bukan hanya itu Menteri juga. katanya tidak mau kejadian itu berulang, artinya ada tindaklanjut yang mencegah hal itu.

Dinas Sosial Provinsi Jambi, lanjutnya, sudah melakukan konsep pemberdayaan, tetapi khusus kelompok yang menjadi korban ini belum bisa dilakukan karena mereka masih memegang kuat tradisi melangun.

"Mereka belum bisa hidup menetap, untuk mengubah prilaku itu agak sulitlah, sehingga dengan kejadian ini kita dituntut untuk melakukan refleksi kembali program-program apa yang tepat untuk mereka. Mereka harus tau kehidupan di luar mereka itu sudah berubah. Mereka harus menyadari lahan cadangan untuk mereka melangun sudah berubah menjadi perkebunan," ujarnya.

Dia menambahkan, jika kehidupan orang rimba timur bisa diubah seperti orang rimba di wilayah barat, maka akan mudah bagi pemerintah melakukan intervensi. Sehingga pelayanan kesehatan mereka pun bisa terjamin.

"Kalau kelompok ini kita berikan imunisasi mereka berpindah-pindah, jadi sulit kita terapkan pengobatan. Padahal tubuh mereka tidak kebal dengan penyakit. Tapi pembinaan seperti itu sudah dilakukan WARSI, dan tentunya mengubah itu memang bertahap," tambahnya.

Manager Program Pemberdayaan Masyarakat KKI WARSI, Robert Aritonang mengatakan, tradisi "melangun" masih kuat dikehidupan orang rimba. Tapi saat mereka pindah ke lokasi yang mereka tuju banyak hutan yang menjadi sumber kehidupan mereka sudah menjadi lahan perusahaan, akibatnya mereka kesulitan mendapatkan makanan.

"Di wilayah mereka melangun kurang sekali sumber penghidupan mereka, kalau dulu mereka masih mendapatkan makanan seperti ubi-ubian atau buah-buahan, tetapi setelah hutan berubah menjadi sawit dan karet otomatis sumber- sumber tadi sudah mulai berkurang. Sekarang yang mereka kembangkan dengan berburu babi, tapi dengan adanya perkebunan pencarian itu hilang juga," kata Robert.

Selain itu, lanjutnya, memang ada dedikasi anak-anak rimba tidak ada yang mendapat imunisasi sampai sekarang, tapi mereka terus kontak dengan dunia luar. Akibatnya mereka rentan terkena penyakit.

"Kedepan kita perlu sinergi dengan pemerintah lintas Kabupaten untuk turun ke lapangan memberikan bantuan berupa pelatihan dan berbagai bentuk pengetahuan, agar kejadian ini tidak terulang lagi," katanya.

Pewarta: Dodi Saputra
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015