Berlin (ANTARA News) - Uni Eropa menyampaikan rencana aksi iklim setelah 2020 ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat (6/3) namun sejumlah organisasi non-pemerintah meragukan janji tersebut.

Dalam rencana yang disebut Intended Nationally Determined Contribution (INDC) yang disiarkan di laman Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (United Nations Framework Convention on Climate Change /UNFCCC), Uni Eropa berjanji mengurangi emisi gas rumah kaca sampai sedikitnya 40 persen paling lambat pada 2030 dari tingkat emisi pada 1990 melalui upaya domestik.

Uni Eropa menyatakan sasarannya merepresentasikan "sebuah kemajuan signifikan" dan sejalan dengan kebutuhan untuk mengurangi sampai separuh emisi gas global pada 2050.

Namun beberapa organisasi non-pemerintah meragukan bahwa sasaran yang mulanya ditetapkan dalam pertempuan puncak Uni Eropa pada Oktober tahun lalu itu cukup dengan kemampuan saat ini dan tanggung-jawab sejarah yang diemban Uni Eropa.

"Ilmunya jelas bahwa target lemah semacam itu, digabungkan dengan penggunaan pasar karbon yang meragukan, artinya kita tidak dalam jalur untuk mengatasi krisis iklim, dan bahwa UE sekarang melibatkan kita dalam melakukan kerusakan lebih lanjut," kata pegiat iklim Filipina, Lidy Nacpil, lewat surel kepada kantor berita Xinhua.

Pada babak terdahulu pembicaraan iklim PBB, para pejabat dari negara berkembang telah mengkritik bahwa sasaran 40 persen mesti dicapai paling lambat pada 2020 dan bukan 2030 karena emisi gas di Uni Eropa pada 2013 sudah berkurang 19 persen dibandingkan dengan tingkat pada 1990an.

Saat ini, Uni Eropa hanya sepakat untuk mengurangi emisi gas 20 persen sampai 2020 dibandingkan dengan tingkat pada 1990.

Kurangnya isi mengenai dukungan teknologi dan keuangan bagi negara berkembang dan kompensasi untuk negara-negara yang rentan dalam rencana aksi yang diajukan Uni Eropa pada Jumat juga memicu kekecewaan.

"Bagaimana kita bisa menyesuaikan diri dengan dampak perubahan iklim tanpa komitmen keuangan? Bagaimana pemerintah Afrika bisa meningkatkan aksi iklim mereka jika mereka tidak tahu apakan dukungan finansial dan teknologi yang tersedia buat mereka?" kata Azeb Girmai dari LDC-Watch di Ethiopia.

"Kurangnya komitmen keuangan adalah kurangnya komitmen bagi kesepakatan iklim yang berarti di Paris," katanya seperti dilansir kantor berita Xinhua.

Negara-negara diminta mengajukan rencana aksi iklim mereka sebelum Oktober tahun ini, sebagai pendahuluan bagi kesepakatan baru mengenai iklim universal yang akan ditandatangani di Paris Desember tahun ini.

Kesepakatan yang baru akan diberlakukan pada 2020 dan akan menata jalan untuk menjaga peningkatan temperatur global di bawah dua derajat Celcius abad ini.

Pemerintah sepakat menyampaikan rencana kontribusi nasional (INDC) menjelang pertemuan Paris dengan banyak negara maju dan negara-negara berkembang diharapkan menyerahkannya pada kuartal pertama tahun ini.

Pada Februari, di Jenewa, negara-negara di bawah UNFCCC juga menyelesaikan perundingan teks untuk kesepakatan Paris.

Putaran negosiasi formal selanjutnya akan berlangsung di markas UNFCCC di Bonn, Jerman, dalam bulan Juni.

INDC dipilih sebagai sarana kontribusi nasional dalam kesepakatan internasional Paris dan meliputi antara lain detail pengurangan emisi yang akan dilakukan negara dan rencana aksi adaptasi perubahan iklim mereka.

Christiana Figueres, Sekretaris Eksekutif UNFCCC, mendorong negara-negara segera maju dengan INDC mereka.

"Momentum menuju Paris dibangun di semua tempat. Saya menunggu lebih banyak INDC disampaikan dalam pekan-pekan dan bulan-bulan mendatang," katanya seperti dilansir laman resmi UNFCCC. (Uu.C003)

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015