Jakarta (ANTARA News) - Belum jelasnya jadwal eksekusi dua warga Australia dan beberapa orang lainnya mengakibatkan pemerintah Canberra terus berusaha menekan pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk membatalkan atau menunda pelaksanaan hukuman itu.

Sementara itu beredar pendapat pemerintah di Jakarta seharusnya segera saja melaksanakan hukuman itu.

"Tidak ada. Kedaulatan hukum tetap kedaulatan hukum. Kedaulatan politik tetap kedaulatan politik. Lihat korbannya 4,5 juta orang. Jangan hanya dilihat (narapidana) yang dieksekusi," kata Jokowi di Bogor, Kamis(5/3).

Komentar Kepala Negara yang keras dan tegas itu disampaikan kepada wartawan ketika mengomentari harapan Australia terutama yang disampaikan Menteri Luar Negeri Julie Bishop agar kedua pemerintah mau melakukan barter atau tukar menukar tahanan. Indonesia akan segera mengeksekusi dua warga Australia yakni Andrew Chan serta Myuran Sukumaran.

Sebagai "tanda terima kasihnya" maka Austrlia akan memulangkan tiga orang Indonesia, yakni Kristito Mandagi, Saud Siregar dan Ismunandar --yang hingga detik ini masih mendekam di bui di negara kangguru itu.

Sebelumnya, Perdana Menteri Australia Tony Abbott telah mengeluarkan pernyataan yang sangat menyakitkan hati atau menyinggung perasaan bangsa Indonesia dengan menyatakan bahwa orang Indonesia perlu mengingat tentang besarnya bantuan Australia setelah terjadinya gelombang laut dahsyat atau tsunami di Provinsi Aceh pada Desember 20004, yang menewaskan sekitar 200.000 orang Aceh.

Sikap angkuh atau sok Tony Abbott itu mengakibatkan banyak warga di Tanah Air mulai dari Aceh sendiri hingga di Jakarta dan berbagai kota lain bergerak untuk mengumpulkan uang logam atau koin untuk nantinya diserahkan kepada Abbott sebagai tanda bahwa bangsa Indonesia telah mengembalikan "bantuan dari mitranya" itu.

Sikap keras ternyata tidak hanya diperlihatkan oleh Jokowi tapi juga oleh Wakil Presiden Mohammad Jusuf Kalla terhadap "rayuan" Julie Bishop itu.

"Kita tidak punya sistem tukar-menukar tahanan," kata Jusuf Kalla ketika menjelaskan sikap tegas Indonesia.

Bahkan Menteri Hukum dan Hak azasi Manusia Yasonna Laoly berkata, "Eksekusi (mati) itu merupakan wujud dari memerangi narkoba."

Sekalipun pemerintah Austrlia dan semua pemerintahan lainnya berhak membela warganya, mereka harus mengingat bahwa hingga detik ini berbagai macam narkotika mulai dari shabu-shabu hingga ganja dan zat adiktif lainnya terus berdatangan dari luar negeri.

Canberra harus ingat bahwa pada bulan Januari 2015 saja, sedikitnya telah terbongkar usaha menyelundupkan shabu-shabu dari Republik Rakyat Tiongkok tidak kurang dari 840 kilogram.

Kalau satu orang saja memakai shabu-shabu Tiongkok ini sebanyak masing-masing satu gram maka berapa belas atau ratus ribu orang Indonesia yang menjadi korbannya? Belum lagi shabu-shabu yang lainnya yang juga masuk negeri ini.

Pertanyaan yang harus disampaikan kepada PM Tony Abbott dan Menlu Julie Bishop adalah "apakah mereka dengan ikhlas atau sukacita akan menerima kiriman barang haram itu?"



Mati sia-sia

Badan Narkotika Nasional, yang merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang bertanggung jawab terhadap upaya pencegahan/ preventif dan penindakan/represif terhadap penyalahgunaan narkotika, mencatat bahwa sekurangnya 40 hingga 50 orang di Tanah Air mati sia-sia setiap harinya akibat menggunakan narkotika.

Kalau tiap harinya paling tidak 40 orang mati tanpa ada manfaatnya maka dalam satu tahun berapa jumlah orang yang mati itu di Tanah Air? Sudikah Abbott dan Julie Bishop menghadapi situasi itu di negaranya?

Kalau nanti akhirnya eksekusi terhadap dua warga Australia dan beberapa warga asing lainnya jadi dilaksanakan, maka adakah pengaruhnya terhadap hubungan bilateral itu?

Seorang guru besar hukum internasional Hikmahanto Juwana optimistis bahwa hubungan Indonesia dan Australia pada akhirnya tidak akan banyak terpengaruh akibat eksekusi mati tersebut. Ia memberi contoh "Ajakan Bishop untuk memboikot pariwisata Indonesia tidak bersambut".

Ucapan-ucapan PM Abbott dan Menlu Julie Bishop, yang "membela" dua warganya itu yang disebut-sebut sebagai anggota kelompok "Bali nine", tidak bisa dilepaskan dari persaingan dan pemilihan umum mendatang di sana sehingga mereka harus mencari dukungan dari para calon pemilih di negara yang memiliki binatang terkenal kangguru itu.

Karena narkoba sudah menyebar hampir ke seluruh daerah di Tanah Air serta menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat maka tentu tidak heran jika diberlakukan status "darurat narkoba". Narkoba sudah dipakai mulai dari pelajar hingga artis. Bahkan mantan ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar juga disebut-sebut menyimpan barang haram itu di kantornya yang sangat terhormat itu.

Hubungan kedua negara memang pada dasarnya tidak bermasalah antara lain yang ditandai dengan banyaknya pemuda dan pemudi Indonesia yang belajar di sana dan sebaliknya betapa banyaknya warga Australia yang berdarmawisata ke sini termasuk ke Pulau Dewata, Bali.

Dekatnya hubungan Jakarta dan Canberra itu bukan berarti boleh dinodai atau dikotori oleh merajalelanya perdagangan narkoba baik oleh orang Indonesia maupun orang Australia.

Kepada Tony Abbott, Julie Bishop dan para pejabat Australia patut diajukan pertanyaan apakah mereka sudi jika anak, kemenakan atau keluarga dekat mereka menggunakan narkoba, misalnya yang dibawa ke sana oleh orang-orang Indonesia?

Pasti dan 100 persen mereka akan berkata, "Saya tidak mau." Kalau mereka menjawab seperti itu maka tentu para tokoh negara tetangga itu akan setuju jika semua bandar atau pengedar harus mendapat hukuman yang seberat mungkin agar perdagangan barang haram ini tidak semakin meluas di negara mana pun juga.

Tony Abbott, dan Julie Bishop, perlu tahu ada sebuah pribahasa atau perumpamaan di Indonesia yakni kalau di sebuah gudang ada banyak tikus maka apakah yang harus dilakukan adalah membakar gudang itu atau hanya mematikan/membunuh tikus-tikus itu?

Karena itu ada baiknya pertanyaan dilontarkan kepada para pemimpin Australia yakni apakah hubungan yang erat atau baik kedua itu harus terus dipertahankan atau malahan diperkuat atau sebaliknya dibekukan atau diputuskan hanya gara-gara satu atau orang warga masing-masing negara.

Apabila pikiran Tony Abbott ataupun Julie Bishop hanya difokuskan pada aspek politik, maka tentu pertanyaan ini mungkin sulit dijawab. Tapi kalau pikiran mereka lebih dikonsentrasikan pada hubungan bilateral yang menyangkut lebih dari 250 juta jiwa, maka pertanyaan tersebut tentu dengan mudah bisa dijawab.

Oleh Arnaz Firman
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015