Manila (ANTARA News) - Serangan jadi bencana terhadap tersangka pegaris keras memicu kegentingan politik terburuk bagi Presiden Filipina Benigno Aquino dan pertanyaan tentang sejauh mana peran Amerika Serikat dalam gerakan itu memperdalam kesulitannya.

Beberapa anggota parlemen Filipina bertanya apakah tentara Amerika Serikat memainkan peran utama dalam gerakan pada Januari itu, yang berakhir dengan 44 polisi khusus tewas di ladang di bagian selatan negara tersebut.

Mereka menunjuk laporan bahwa pesawat nirawak Amerika Serikat menerbangi daerah tersebut saat itu dan dikatakan memancarkan kembali seketika gambar kepada komandan negara adidaya tersebut saat kegagalan itu terjadi.

Ketua Senat Franklin Drilon, anggota kuat dari Partai Liberal berkuasa, adalah satu dari sedikit-dikitnya lima senator, yang mengangkat persoalan tentang apa yang Amerika Serikat tahu.

"Apakah FBI (Biro Penyelidikan Pusat) tahu sebelumnya tentang gerakan itu?" kata Drilon bertanya kepada kepala satuan polisi khusus Getulio Napenas, yang kehilangan jabatannya akibat peristiwa itu, dalam satu sidang.

"Atau ada tentara Amerika Serikat? Apakah mereka tahu tentang gerakan?" katanya.

Menurut ketentuan penempatan pelatihan antiterorisme, Amerika Serikat tidak diizinkan terlibat dalam pertempuran di Filipina.

Pejabat pemerintah Amerika Serikat kepada AFP menyatakan pasukannya membantu pengungsian korban, tapi gerakan itu direncanakan dan dilaksanakan pejabat Filipina, dan menolak menanggapi lebih lanjut.

Menteri Luar Negeri Filipina Albert del Rosario menolak memberikan jawaban langsung ketika ditanya tentang peran Amerika Serikat. Ia hanya berbicara secara umum tentang bantuan Amerika Serikat kepada Manila dalam menekan militansi.

"Dengan Amerika Serikat, kami memiliki kerjasama sangat erat kontraterorisme," kata del Rosario kepada AFP melalui pesan tertulis.

Ia berulang kali mengatakan di tempat lain bahwa gerakan itu dipimpin pejabat Filipina.

Serangan prafajar oleh pasukan polisi khusus di desa pertanian terpencil dikuasai pemberontak Moro di selatan itu direncanakan sebagai serangan mendadak untuk menangkap atau membunuh dua orang di daftar "teroris" paling dicari pemerintah Amerika Serikat.

Meskipun salah satu tersangka pejuang itu dilaporkan tewas, ratusan pemberontak dengan cepat mengalahkan jumlah polisi, menjebak kelompok besar di ladang jagung dan membantai 44 polisi khusus itu dalam pertempuran sepanjang hari.

(Uu.B002)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015