Jakarta (ANTARA News) - Sambil memainkan gitarnya, Anda Perdana menyesuaikan petikan-petikannya agar terdengar padu dengan permainan drum Reza Achman.





“Kita mencoba-coba supaya nggak terdengar kosong,” kata Reza, usai manggung di helatan Java Jazz beberapa hari silam.


Tampil berdua, gitar dan drum, Anda dan Reza harus pandai-pandai memilih nada dan teknik bermain agar irama yang mereka hasilkan tidak terdengar sepi suara.


Ketika bermain gitar misalnya, Anda dibantu efek agar mampu menghasilkan bunyi-bunyian di luar gitar bolongnya, seperti bass maupun efek gitar elektrik.


“Esensi bass juga dapet dari rhythm drum. Yang harusnya pakai kaki, dia pukul,” kata Anda tentang cara bermain temannya.


Reza pun memilih memainkan drumcussion ketimbang bass drum untuk mengisi kekosongan tersebut. Alasannya sederhana, selain ingin menghasilkan bunyi yang berbeda, ia juga ingin mengikuti gaya tradisional yang menggunakan tangan saat bermain perkusi.


“Kami bukan pemain tradisi, kami ambil esensinya saja,” kata Reza.


Reza gemar mengulik bunyi alat musik pukul dari berbagai di Indonesia, terutama Jawa Barat dan Jawa Timur, sebagai bahan referensi bermainnya.


“Menurut gue, musik daerah Sunda kayak rampak gendang, dinamis banget. Kaya rhythm. Pun Banyuwangi,” kata drummer berambut gondrong itu.


Pengaruh musik tradisi yang ia mainkan, menurutnya berada di alam bawah sadarnya. Indonesia begit kaya bunyi-bunyian, kata Reza yang pernah sekolah musik di Australia ini.


“Kami bilangnya subliminal. Di bawah sadar ada rhtyhm Indonesia.”


Begitu kaya suara dan lepas ketika manggung, Matajiwa memilih menjelaskan apa yang mereka mainkan dengan kata “Expression, Experience, Experiment”.


Selalu ada ekspresi dan percobaan dalam setiap lagu yang mereka mainkan. Begitu juga dengan pengalaman tiap lagu, selalu berbeda baik bagi pemain maupun penonton.


“Pengalaman entah dari penonton atau dari kita sendiri. Kita nggak doyan juga kalau satu lagu sama besok mainnya sama lagi,” kata Anda.


Matajiwa menyerahkan kepada pendengarnya untuk menyebut genre musik yang mereka mainkan. Mereka pun tidak keberatan bila disebut memainkan musik folk.

“Kita nggak menutup diri,” kata Reza.


“Apa yang kita doyan kita coba bikin aja lagunya. Gue pun nggak mau membatasi harus bikin apa,” tambah Anda.


Melihat dengan mata dan jiwa


Reza dan Anda berusaha tidak melihat sesuatu hanya dengan mata telanjang, tapi juga dengan rasa.


“Kita mencoba melihat sesuatu dengan mata dan jiwa lagi,” kata Reza.


“Semua yang nggak kelihatan sebenarnya yang paling kuat. Tuhan, udara, rasa kesal, benci. Nggak kelihatan tapi orang bisa senang, bisa bunuh diri. Dari udara orang bisa hidup. Tuhan, ya kalian tahu lah.”


Mencermati hal-hal kecil pun dapat menginspirasi mereka dalam berkarya.


Terkadang, kata Anda, kita lupa bahwa ita bernapas meski itu sudah dilakukan otomatis sehari-hari.


Hal kecil seperti itu yang membuat Matajiwa menulis lirik-lirik yang terdengar seperti puisi.


“Hidup itu sebenarnya puisi,” kata Reza.

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015