Jakarta (ANTARA News) - Pemerhati isu kehutanan dari Thamrin School of Climate Change and Sustainability Togu Manurung mengatakan agar pemerintah melakukan kajian dampak lingkungan dan sosial dalam Reforma Agraria agar program tersebut jangan sampai menjadi bencana lingkungan-sosial-ekonomi yang mengerikan.

Pada akhir Februari 2015, Presiden Joko Widodo, bersama-sama dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional telah mengeluarkan pernyataan akan segera menggulirkan program Reforma Agraria dengan membagikan sembilan juta hektare lahan pertanian kepada 4,5 juta petani marginal.

"Kerusakan lingkungan dan disharmoni sosial yang terjadi di banyak perkebunan dan hutan seharusnya menjadi pelajaran berharga tentang keharusan menerapkan kajian dampak lingkungan dan sosial dalam program Reforma Agraria," kata Togu Manurung dalam keterangan persnya, Jumat (13/3) malam.

Ia mengatakan bahwa pelajaran terbesar tentang kehati-hatian datang dari proyek pencetakan sawah sejuta hektare yang gagal total.

"Tentu, sebagaimana yang bisa disaksikan hingga sekarang, hasil rehabilitasi itu tak bisa mengembalikan wilayah hutan gambut seluas sejuta hektare itu ke kondisi awal," tambah Ketua Perkumpulan Forest Watch Indonesia itu.

Berhadap-hadapan dengan situasi di mana produktivitas pertanian Indonesia masih perlu ditingkatkan, serta rerata kepemilikan lahan dari keluarga petani yang sangat kecil, maka menurut Togu Reforma Agraria merupakan salah satu jalan keluar yang dipandang penting dan urgen untuk dilaksanakan.

Thamrin School mendorong adopsi bentuk-bentuk pertanian berkelanjutan yang bersifat konservatif dan rehabilitatif pada program Reforma Agraria. Selain itu, Thamrin School mengharapkan pemerintah dapat membuka akses publik terhadap data dan informasi terkait dengan lokasi wilayah, status, dan kondisi lahan yang ada secara luas dan transparan serta melibatkan pemangku kepentingan dalam berbagai kebijakan yang akan diputuskan. Demikian juga, sangat penting untuk tidak memaksakan angka luasan sebagaimana yang direncanakan, bila kajian dampak lingkungan dan sosial program tersebut belum dilakukan.

Thamrin School juga merekomendasikan agar pemerintah memanfaatkan lahan-lahan yang sudah terbuka, baik itu yang berstatus kawasan hutan maupun non-hutan. Indonesia memiliki lahan terlantar atau tidak produktif yang sangat luas yang berada di kawasan hutan, jauh di atas kebutuhan 9 juta hektare itu. Setidaknya 14 juta perhitungan lainnya mencapai angka 30 juta hektare kawasan hutan berada dalam kondisi demikian.

Disarankan agar lahan yang terlantar tersebut bisa diprioritaskan untuk dimanfaatkan, tentunya dengan dilakukan kajian mendalam terlebih dahulu. Sementara itu, kawasan yang memiliki signifikansi jasa lingkungan ekosistem hutan alam tropis yang sangat tinggi atau high conservation value forest (kawasan yang bernilai konservasi tinggi) misalnya di kawasan Heart of Borneo harus dihindari untuk dibuka.

Bahkan, bila ditemukan adanya kawasan berhutan yang statusnya Areal Penggunaan Lain, disarankan untuk tidak dibuka.

Selain itu, pengelolaan dampak sosial harus dilaksanakan dengan tujuan peningkatan kesejahteraan petani. Identifikasi petani peserta program dinilai perlu dilaksanakan dengan sangat berhati-hati, terlebih terhadap masyarakat adat dan masyarakat lokal yang berada pada lokasi program.

Prioritas harus diberikan kepada para petani tuna kisma (yang sama sekali tidak memiliki lahan) dan gurem (yang memiliki lahan sangat kecil), dan harus dihindari sekuat mungkin pemberian lahan kepada mereka yang tak berhak. Bantuan bagi para petani di fase awal harus dipastikan bisa menciptakan kemandirian pada periode tertentu.

Selain itu, pembagian kepemilikan tanah juga agar dijamin kepada masyarakat yang berhak untuk mendapatkan lahan yang menjadi tujuan Reforma Agraria sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.

Pewarta: Monalisa
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015