Denpasar (ANTARA News) - Indonesia menghadapi sejumlah kendala dalam mengembangkan potensi sektor pertanian dan lahan pertanian sebagai upaya mewujudkan swasembada pangan, sejak kebangkitan sektor pertanian pertama pada era pemerintahan Orde Baru.

"Kendala itu antara lain dokumen Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (PRPPK) tidak tercantum dalam peraturan perundang-undangan yang mengikat, seperti dalam bentuk peraturan pemerintah atau Perpres," kata Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof Dr Wayan Windia, Senin.

Ia mengatakan, selain itu PRPPK juga tidak tercantum dalam dokumen politik, seperti misalnya dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2005-2009.

Dengan demikian konsep PRPPK menjadi serba tanggung, yakni tidak bisa dijabarkan secara teknis-operasional di daerah dan juga oleh kementerian terkait, padahal pembelanjaan uang negara, harus ada dasar hukum yang kuat.

Windia yang juga mantan anggota DPR RI menilai, faktor PRPPK sangat penting dan strategis, jauh lebih penting dibandingkan dengan berbagai teori pembangunan yang akan dilaksanakan dalam kebijakan PRPPK tersebut.

Hal itu penting disadari, mengingat kebangkitan sektor pertanian pertama dianggap terjadi pada Era Orde Baru, karena betul-betul mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh, dan puncaknya tercapai pada tahun 1984, tatkala Indonesia dikenal sebagai pengekspor beras.

Sedangkan sekitar 15 tahun sebelumnya, sektor pertanian di Indonesia sangat terpuruk, dan Indonesia dikenal sebagai pengimpor beras terbesar di dunia.

Selanjutnya, menuju kebangkitan sektor pertanian yang kedua dianggap terjadi pada tahun 2005. Tatkala ketika itu (tgl. 11 Juni 2005), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mendeklarasikan apa yang disebut sebagai Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (PRPPK).

Namun, apa yang terjadi, tidak seperti yang diharapkan, seperti halnya yang terjadi pada Era Orde Baru. Banyak para ahli yang beranggapan bahwa program menuju kebangkitan sektor pertanian yang kedua, adalah gagal akibat berbagai kendala, ujar Prof Windia.

Demikian pula kendala fungsional, bahwa pelaksanaan PRPPK terkesan sangat sektoral, karena sektor tersebut hanya diurus oleh sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan saja.

Tidak semua sektor dapat berfungsi dan digerakkan untuk meng-goalkan pelaksanaan PRPPK itu. Oleh sebab itu dalam pelaksanaan pembangunan pertanian harus didukung oleh semua sektor.

Hal itu penting karena pengalaman sebelumnya pada Era Orde Baru, semua sektor mendukung program pembangunan pertanian pada saat itu, termasuk rakyat dan petani, birokrasi (pemkab) dan para ilmuwan. "Para ilmuwan terus mengadakan riset untuk menghasilkan teknologi tepat guna menunjang program pertanian, pada tahap awal, diharapkan sekitar 0,1 persen dari produk domestik bruto (PDB) dapat dimanfaatkan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan.

Upaya itu pada hakekatnya kebijakan pemerintah dalam pembangunan pertanian untuk mencapai stabilisasi, efisiensi, dan pemerataan. Namun ketiga komponen itu sering mengalami "trade-off".

"Itu artinya untuk mencapai tujuan yang satu, maka kita harus mengorbankan tujuan yang lainnya," ujar Prof Windia.

Pewarta: IK Sutika
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2015