Bangkok (ANTARA News) - Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha pada Selasa menyerukan pengurangan penggunaan hukum darurat, yang diberlakukan sejak ia merebut kekuasaan pada Mei, namun tidak menyebutkan rencana mencabutnya.

Tentara memberlakukan undang-undang darurat beberapa hari sebelum kudeta, yang dikatakanya diperlukan untuk mencegah pertumpahan darah lebih lanjut sesudah berbulan unjuk rasa, yang menewaskan hampir 30 orang, lapor Reuters.

Tanggapan perdana menteri itu mengikuti peningkatan tekanan pada pemerintah tentara untuk mencabut aturan tersebut, yang melarang semua unjuk rasa politik dan memberikan kekuatan kepada tentara untuk menangkap dan menahan.

"Kami secara hakiki sudah mengurangi penggunaan hukum darurat, kecuali dalam penyelidikan mendesak dan kami memusatkan perhatian pada penggunaan pengadilan dan hukum umum," kata Prayuth, yang juga pemimpin tentara penguasa.

"Saya mendesakkan pengurangan penggunaan mahkamah tentara dan undang-undang darurat," katanya.

Tindakan penguasa itu bertentangan janjinya menghormati hak politik dan warga, kata kelompok hak asasi Human Rights Watch.

"Penindasan atas hak warga dan politik di Thailand berlangsung tanpa henti," kata pernyataan Brad Adams, direktur Asia kelompok tersebut.

Pada Senin, puluhan pengunjuk rasa, beberapa memegang spanduk menentang penguasa, berkumpul di luar mahkamah tentara di ibu kota, Bangkok, tempat empat pegiat ditahan atas tuduhan melanggar larangan tentang pertemuan umum.

Beberapa dari mereka meneriakkan semboyan menuntut penghentian penggunaan mahkamah tentara, yang penguasa katakan akan digantikan pengadilan umum untuk mengadili beberapa pelanggaran sesudah kudeta tersebut.

Pada bulan lalu, usul tentara menahan warga tiga bulan tanpa dakwaan melewati sidang ketiga di parlemen bentukan tentara, meskipun kelompok hak asasi menyerukan aturan itu dicabut.

Thailand sedasa warsa terpecah oleh persaingan pendukung mantan mantan perdana menteri merakyat Thaksin Shinawatra dengan pendukung kerajaan berpusat di Bangkok dan lembaga tentara, yang melihatnya sebagai ancaman.

Adik Thaksin, mantan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra,

dinyatakan bersalah melakukan korupsi oleh pengadilan pada Mei dan diturunkan dari jabatannya, beberapa hari sebelum kudeta itu. Berbulan unjukrasa di Bangkok bertujuan mengusir Yingluck.

Penguasa itu, yang dikenal sebagai Dewan Perdamaian dan Ketertiban Bangsa, menyatakan belum berencana mencabut undang-undang darurat, menolak seruan diplomat utama Amerika Serikat pada Januari untuk mengambil langkah tersebut.

(Uu.B002/M016)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015