Yang ngasih duitnya mas Ibas."
Jakarta (ANTARA News) - Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin mengungkapkan aliran uang yang berasal dari perusahaannya, Grup Permai yang diberikan ke parlemen.

"Intinya uang dari Permai Group, fee-nya pernah dikasih ke mana, pernah dikumpukan di Fraksi Demokrat," kata Nazaruddin seusai diperiksa di gedung KPK Jakarta, Selasa.

Nazar menjadi saksi untuk Kepala Biro Administrasi Umum dan Keuangan di Universitas Udayana Made Meregawa yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan alat kesehatan di Rumah Sakit Khusus untuk Pendidikan Penyakit Infeksi dan Pariwisata 2009 di Universitas Udayana Bali.

Menurut Nazar, uang dari perusahaannya diberikan kepada ketua-ketua fraksi di DPR saat itu.

Nazaruddin adalah terpidana tujuh tahun perkara suap Wisma Atlet SEA Games XXVI Palembang, KPK juga masih menyelidiki sejumlah kasus korupsi lain yang melibatkan perusahaan Nazaruddin seperti kasus pembangunan pabrik vaksin flu burung di Bandung dan pembangunan laboratorium di beberapa universitas.

KPK menetapkan dua tersangka dalam kasus Alkes di Universitas Udayana yaitu Kepala Biro Administrasi Umum dan Keuangan di Universitas Udayana Made Meregawa (MDM) yang juga menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen dan Marisi Matondang selaku direktur PT Mahkota Negara.

PT Mahkota Negara adalah perusahaan pemenang tender Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang terbukti terjadi tindak pidana korupsi hingga menyeret Neneng Sri Wahyuni yaitu istri Nazaruddin yang sudah menjadi narapidana kasus Wisma Atlet SEA Games.

PT Mahkota Nusantara sendiri pernah dimiliki kakak-adik Nasir dan Nazaruddin hingga 2009. Selain terlibat dalam proyek PLTS, PT Mahkota juga mendapat bagian pengadaan alat laboratorium multimedia serta alat laboratorium informasi, komunikasi, dan teknologi tahun 2007 di Kementerian Pendidikan Nasional dengan nilai proyek Rp40 miliar.

Kedua tersangka disangkakan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

KPK menduga ada pemufakatan dan rekayasa dalam proses pengadaan yang kemudian diduga negara mengalami kerugian sekitar Rp7 miliar.

Proyek tersebut bersifat "multiyears" yaitu pada 2009-2011 dengan total anggaran sebesar Rp16 miliar.

Sedangkan kasus yang diselidiki dan disidik KPK adalah pengadaan 2009.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015