... kesenjangan infrastruktur dan membenahi ketimpangan kualitas SDM, sangat krusial untuk jangka panjang, karena inilah kelemahan Indonesia...
Jakarta (ANTARA News) - Ahli ekonomi Bank Dunia, Ndiame Diop, mengatakan, sangat sulit bagi Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi pada 2015, meskipun pemerintah telah melakukan berbagai antisipasi untuk memperbaiki iklim investasi.

"Kebijakan pelayanan terpadu satu pintu untuk izin usaha oleh BKPM merupakan langkah tepat, namun implementasinya tidak akan terjadi seketika," ujarnya, dalam pemaparan laporan terbaru triwulan Bank Dunia di Jakarta, Rabu.

Ndiame memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berada pada kisaran 5,2 persen, atau jauh di bawah asumsi pemerintah dalam APBN-P 2015 sebesar 5,7 persen, karena sektor ekspor tidak bisa memberikan kontribusi signifikan tahun ini.

"Bahkan untuk mencapai angka 5,5 persen, Indonesia membutuhkan kerja sangat keras, karena konsumsi domestik, investasi maupun ekspor sedikit mengalami tekanan dan menurunkan proyeksi pertumbuhan," ujar dia.

Ia mengharapkan dalam jangka menengah panjang, pemerintah melakukan berbagai pembenahan struktural, agar perekonomian Indonesia tidak rentan terhadap tekanan eksternal dan tumbuh tinggi sesuai ekspektasi.

Pembenahan tersebut, kata Ndiame, antara lain melakukan pembangunan dan pembenahan sarana infrastruktur, meningkatkan kualitas sumber daya manusia serta mendorong produktivitas sektor potensial dalam ekonomi.

"Mengatasi kesenjangan infrastruktur dan membenahi ketimpangan kualitas SDM, sangat krusial untuk jangka panjang, karena inilah kelemahan Indonesia. Sedangkan kebijakan publik yang memadai dibutuhkan untuk mendorong efektivitas sektor ekonomi," ujarnya.

Ndiame mengaku optimistis, apabila reformasi struktural tersebut dilakukan, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tercatat lebih baik, minimal berada pada kisaran 5,5 persen-6,0 persen sesuai potensinya.

Bank Dunia memberikan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,2 persen pada 2015, namun angkanya diprediksi sedikit meningkat tipis menjadi 5,5 persen pada 2016, dengan asumsi laju konsumsi swasta relatif stabil didukung percepatan investasi.

Proyeksi tersebut juga mempertimbangkan adanya pemulihan sektor ekspor dan impor secara bertahap karena adanya penguatan investasi tersebut. Namun, berbagai risiko akibat kredit yang terlalu ketat dan biaya impor tinggi harus menjadi perhatian, karena dapat mengurangi konsumsi rumah tangga. 

Pewarta: Satyagraha
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015