Jakarta (ANTARA News) - Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menegaskan remisi untuk pelaku kejahatan luar biasa seperti korupsi harus berbeda dari pidana biasa.

"Sudah salah dimengerti bahwa itu untuk memperkuat dan memperbaiki sistem peradilan pidana terpadu. Saya berpendapat remisi untuk extraordinary crime (kejahatan luar biasa) itu harus berbeda dengan pidana biasa," kata Yasonna setelah mengikuti rapat terbatas bidang politik, hukum, dan keamanan di Kantor Presiden Jakarta, Rabu.

Ia mencontohkan jika pidana untuk kejahatan biasa dikenai remisi hukuman 6 bulan penjara, maka untuk korupsi hukumannya bisa lebih diperberat dengan misalnya setahun atau satu setengah tahun.

Menurut dia, kasus-kasus korupsi hukumannya harus diberatkan kepada pelakunya meskipun ini juga harus tetap dibahas melalui tim penilai pemberian remisi.

"Jadi sistem pidana terpadu kita itu jelas," katanya.

Namun pemberatan hukuman itu masih terbatas pada wacana yang harus dibahas lebih lanjut meskipun sudah disetujui Komisi III DPR RI, sambung dia.

"Ini kan masih wacana, masih diseminarkan. Ini sebenarnya sudah disetujui di Komisi III," katanya.

Yasonna juga mengaku wacana ini belum dilaporkan ke Presiden karena dianggapnya masih embrio.

Sementara terkait pernyataan Jaksa Agung yang menganggap aturan soal remisi yang ada saat ini masih relevan, Yasonna mengatakan semua pihak berhak memberikan saran terbaik bagi perbaikan sistem peradilan pidana terpadu yang lebih baik di Indonesia.

"Itu yang saya katakan melekatkan fungsi masing-masing sesuai tugas pokok dan fungsinya," kata Yasonna.


Pewarta: Hanni Sofia Soepardi
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015