Jakarta (ANTARA News) - Para ibu sudah 273 hari bertahan di tenda terpal di lokasi pembangunan pabrik PT Semen Indonesia di pegunungan karst Kendeng, Rembang, Jawa Tengah, Selasa (17/3) lalu.

Tapi suara mereka tampaknya belum didengar. Pembangunan pabrik masih berjalan. Alat-alat berat masih menjelajahi area pembangunan pabrik, menghamburkan debu-debu yang seolah ikut meredam suara mereka.

Sukinah bersama ibu-ibu lain melanjutkan usaha mereka di Jakarta, mendatangi kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Markas Besar Polri, Balai Kota DKI Jakarta, Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, sampai Komisi Pemberantasan Korupsi untuk mengadukan perusakan "ibu pertiwi" mereka.

"Ibu pertiwi sayang anaknya. Dia sudah begitu baik dengan kita. Apa yang kami tanam akan tumbuh, kami dikasih tanah yang subur, kalau kami bubuti dia akan diam saja. Kami seorang ibu bisa merasakan sakitnya kalau dirusak. Kenapa tidak ingat dengan ibu kita yang sudah begitu baik," kata Sukinah.

"Kami berharap pemerintah memperhatikan lingkungan dan alam kami yang dirusak. Pertanian seharusnya diprioritaskan, jangan nanti Indonesia malah impor bahan pangan padahal negara kita kan subur. Seharusnya kita justru bisa ekspor, tanah subur begitu indahnya kok dirusak," katanya.

"Kami ingin mempertahankan ibu pertiwi ini."

Ibu-ibu itu berada di barisan terdepan warga Rembang dalam upaya melindungi lingkungan tempat tinggal dari kerusakan. Demi melindungi kawasan karst Kendeng Utara, mereka rela meninggalkan anak dan suami di rumah dan tidur di tenda, dan kadang menjadi korban kekerasan aparat.

"Saya aksi sama teman-teman memblokir jalan di pintu masuk arah menuju tapak pabrik. Saya diangkat empat aparat lalu dilempar kemudian dipukul," kata Murtini, salah satu peserta aksi.


Menjaga Kendeng


Pegunungan Kendeng Utara merupakan hamparan perbukitan karst yang terbentang luas dari Kabupaten Grobogan di bagian selatan, Rembang, Blora hingga Kabupaten Pati di bagian utara.

Bentang alam karst Kendeng Utara meliputi hamparan bukit-bukit kapur kerucut, ribuan mata air pada rekahan batuan dan sungai-sungai bawah tanah dalam gua serta candi dan fosil bersejarah.

Warga khawatir pembangunan pabrik-pabrik semen akan memakan lahan pertanian mereka, menyusutkan sumber mata pencarian, mengganggu keseimbangan ekosistem dan membawa polusi ke wilayah tempat tinggal mereka.

"Karst pasti di batu gamping dan batu gamping itu satu-satunya bahan baku semen. Jadi kalau bangun pabrik semen pasti merusak karst padahal karst dalam peraturan tata ruang harusnya dilindungi," kata Manajer Kebijakan dan Pembelaan Hukum Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional Muhnur Satyahaprabu.

Ia menjelaskan Peratuan Pemerintah No.22/2010 tentang Wilayah Pertambangan memungkinkan pemerintah daerah mengusulkan daerah karst tidak dijadikan wilayah pertambangan.

"Karst punya dua dimensi, dimensi fungsi dan hukum. Kalau suatu wilayah punya fungsi karst artinya punya fungsi menyerap air dan menyimpan air karena ada sungai-sungai," tutur Muhnur.

"Karst harus dilegalisasikan tetapi masalahnya tidak semua kawasan berfungsi karst ditetapkan sebagai kawasan karst oleh pemerintah karena ada kepentingan tambang. Jadi secara fungsi masuk kawasan karst tetapi secara hukum belum tentu, ini yang kacau. Kelemahan itu dipakai pemerintah daerah untuk menarik investor," jelasnya.

Padahal, menurut Muhnur, kawasan karst bisa menghasilkan devisa lebih banyak jika dijadikan kawasan pariwisata.

"Di Tiongkok, kawasan karst dibuat sebagai tempat rekreasi karena pasti ada flora dan fauna endemik, ada banyak batuan fosil bersejarah karena dulu manusia purba hidupnya di sana," katanya.

Walhi bersama warga Kabupaten Rembang yang tinggal di sekitar proyek pabrik semen mengajukan gugatan atas penerbitan izin lingkungan PT Semen Indonesia di Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang.

Izin lingkungan rencana penambangan PT Semen Indonesia masuk dalam wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih di Gunung Watu Putih berdasarkan peta Izin Usaha Pertambangan tahun 2012.

Gubernur Jawa Tengah mengeluarkan surat dengan Nomor 668.1/17 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan tertanggal 7 Juni 2012 tersebut.

Meski gugatan sudah disampaikan ke pengadilan, kegiatan pembangunan pabrik semen tidak berhenti.

"Kalau tetap dilakukan pembangunan, kalau pun dalam putusan nanti kami menang, kawasan di sana sudah terlanjur rusak," kata Muhnur.

"Penolakan itu tidak ada artinya bagi perusahaan. Pembangunan terus dilanjut karena didukung birokrasi dan aparat keamanan. Kalau tidak ada dukungan politik dan aparat keamanan tidak mungkin begitu. Seharusnya pembangunan diberhentikan dulu, tetapi pemerintah lokal dan pusat tidak melakukan apa-apa," katanya.


Demi kelestarian alam

Perjuangan warga Rembang menjadi kunci. Bila pabrik semen dibangun di wilayah itu maka perusahaan tambang lain juga akan masuk ke Pegunungan Kendeng Utara.

Muhnur mengungkapkan setidaknya saat ini sudah ada izin pembangunan pabrik semen di Jawa Tengah selain di Rembang, yakni di Pati, Grobogan, Blora, Wonogiri, Kebumen, Banjar Negara, dan Muria.

"Jawa sudah tidak bisa ditambang. Jawa harus diselamatkan," katanya.

Para ibu di Rembang tidak berjuang untuk mereka sendiri, tapi juga untuk orang-orang Jawa Tengah. Mereka menjadikan kendi sebagai simbol perjuangan.

"Kendi itu simbol bagi kami, sebagai tempat untuk air. Kalau kendi pecah, air akan hilang, tidak ada kehidupan. Air tidak bisa dipisah dengan petani," kata Ngatemi, warga Pati yang ikut aksi protes menolak pembangunan pabrik Semen.

"Kami sudah cukup menghidupi keluarga kami dari tani. Tidak mungkin kalau ada pabrik semen kami akan tambah makmur, mungkin malah tambah sengsara. Kalau pemerintah tidak menghiraukan kami, rakyat kecil, kami akan berjuang sama-sama," katanya.

"Kami dianggap semut tetapi semut bisa naik ke atas ketika sama-sama ditindas," tambah dia.

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015