Suami saya memang berprofesi sebagai tukang las dan sering ke luar negeri untuk mengerjakan proyek, sebelum akhirnya ditangkap di Indonesia pada tahun 2005."
Jakarta (ANTARA News) - Serge Areski Atlaoui, warga negara Prancis yang divonis mati di Indonesia karena terlibat kasus pengoperasian pabrik ekstasi, terus mencoba menghindari eksekusi melalui berbagai cara dengan dukungan dari pemerintah Prancis, tim pengacara dan keluarga.

Setelah grasinya ditolak, dia mengajukan Peninjauan Kembali (PK) untuk pertama kalinya sejak dia diputuskan untuk dihukum mati oleh Mahkamah Agung pada tahun 2007, dengan dukungan penuh dari pemerintah Prancis.

Ya, PK memang jadi satu-satunya harapan Atlaoui untuk selamat dari terjangan timah panas para penembak jitu setelah pengajuan grasinya ditolak oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 35/G Tahun 2014.

PK telah diajukan oleh pihak pengacara Atlaoui pada 10 Februari 2015 ke Pengadilan Negeri Tangerang dan sidang pertamanya telah dilaksanakan pada 11 Maret 2015.

Hasilnya? Majelis hakim yang diketuai Indri Murtini menunda sidang sampai tanggal 25 Maret 2015 dan menolak pengajuan saksi baru oleh Atlaoui karena tidak ada bukti baru ("novum") kasus ini.

Memang, PK Atlaoui ini diajukan atas dasar dugaan adanya kekeliruan hakim dalam mengambil keputusan pada persidangan-persidangan yang dilakukan sejak tahun 2005, tahun dimana Serge ditangkap dan disidangkan pertama kali.

Hal ini juga diakui oleh pengacaranya Nancy Yuliana, sebelum persidangan PK tersebut.

"Kami memang tidak memiliki novum (bukti baru) terkait kasus ini. Tetapi kami menduga hakim melakukan kekhilafan dalam mengambil keputusan," ujar dia dalam jumpa pers dengan wartawan di Kedutaan Besar Prancis di Jakarta, Februari 2015.

Menurut Nancy, pencarian data-data baru ini pulalah yang menjadi alasan mengapa ada rentang waktu yang lama, sekitar delapan tahun, dari vonis mati oleh MA ke pengajuan PK yang pertama.

Terlepas dari itu, pihaknya menganggap Atlaoui tidak pantas dieksekusi mati, karena berdasarkan fakta mereka, pria yang memiliki empat orang anak itu tidak terlibat langsung dengan narkoba yang diproduksi oleh salah satu pabrik ekstasi terbesar di Asia, di Cikande, Banten.

"Serge Atlaoui bekerja di pabrik ekstasi tersebut sebagai teknisi, bukan pengedar ataupun pemilik pabrik. Karena itu, Atlaoui tidak pantas dihukum mati," tuturnya.

Ini diperkuat oleh istri Serge Atlaoui, Sabine Atlaoui, yang datang dari Prancis bersama anak-anaknya untuk memberikan dukungan moral kepada sang suami.

Dia mengatakan suaminya telah lama menjadi tukang las dan sering dipanggil ke luar negeri terkait profesinya tersebut.

"Suami saya memang berprofesi sebagai tukang las dan sering ke luar negeri untuk mengerjakan proyek, sebelum akhirnya ditangkap di Indonesia pada tahun 2005," kata dia.

Adapun kasus yang menyeret Atlaoui menjadi seorang pesakitan adalah diungkapnya pabrik ekstasi skala besar di Cikande, Serang, Banten, pada 11 November 2005, dengan barang bukti berupa 290 kilogram ketamine, 138,6 kilogram sabu-sabu dan 316 drum prekusor.

Ini merupakan salah satu kasus narkoba terpenting yang berhasil dibongkar oleh Kepolisian Republik Indonesia, yang membuat Presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, datang ke tempat kejadian perkara (TKP) dan memberikan dukungannya untuk para polisi dalam memberantas narkoba.

Ada 12 orang terdakwa dalam kasus tersebut dimana sembilan diantaranya divonis mati di tingkat Mahkamah Agung (MA).

Mereka yang dihukum mati adalah Benny Sudrajat alias Tandi Winardi dan Iming Santoso alias Budhi Cipto yang merupakan warga negara (WNI) Indonesia, Zhang Manquan (42), Chen Hongxin, Jian Yuxin, Gan Chunyi, dan Zhu Xuxiong (WN Tiongkok), Nicolaas Garnick Josephus Gerardus alias Dick (WN Belanda), serta Serge Areski Atlaoui (Prancis).

Untuk tiga terdakwa lain, yaitu Samad Sani alias Agus alias Atjai, Arden Christian alias Kevin Saputra, dan Hendra Raharja, MA menjatuhkan hukuman selama 20 tahun.

Namun sampai kini, dari sembilan terdakwa yang divonis mati, baru Serge Atlaoui yang diyakini masuk dalam daftar eksekusi tahap kedua oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, bab 2, pasal 2, menyatakan "Pidana mati yang dijatuhkan atas dirinya beberapa orang di dalam satu putusan, dilaksanakan secara serempak pada waktu dan tempat yang sama, kecuali jika terdapat hal-hal yang tidak memungkinkan pelaksanaan demikian itu".

Dukungan Penuh Pemerintah Prancis
Pemerintah Prancis secara aktif memberikan bantuan hukum kepada Atlaoui agar pria Prancis keturunan Afrika Utara tersebut bisa dibebaskan dari hukuman mati.

"Kami akan terus berjuang untuk membebaskan Atlaoui dari vonis mati melalui koridor hukum yang berlaku di Indonesia," ujar Duta Besar Prancis untuk Indonesia dan Timor Leste, Corrine Breuz.

Breuz menyatakan pemerintah Prancis terus menunggu persidangan PK selanjutnya yang akan diadakan pada 25 Maret 2015. "Pihak terhukum selalu punya hak untuk melakukan pembelaan. Kami terus menunggu dan berjuang menentang hukuman mati ini," kata dia.

Menurut Breuz, seluruh rakyat termasuk pemerintah Prancis selalu memberikan dukungan penuh kepada keluarga Serge Atloui.

"Serge Atloui bukanlah pemakai, pengedar ataupun pemilik pabrik narkoba. Kami berharap aparat hukum memberikan perhatian serius terhadap peninjauan kembali (PK) yang telah diajukan dan dapat memeberikan keputusan adil," kata dia.

Kasus eksekusi mati ini, lanjut Breuz, menimbulkan keresahan di Prancis, yang sejak puluhan tahun lalu tidak pernah lagi menerapkan hukuman mati.

"Kabar ini meresahkan masyarakat Prancis karena tidak pernah ada warga negara kami yang pernah dihukum mati, baik di dalam maupun luar negeri sejak tahun 1981," ujar dia.

Bahkan pada bulan Februari, Prancis sempat memanggil Duta Besar Indonesia di negara itu Hotmangaradja Pandjaitan, untuk menyampaikan keprihatinan atas hukuman mati Atlaoui.

Menurut Fabius, dari keterangan Kedutaan Besar Prancis, negaranya menolak dengan tegas penerapan hukuman mati yang dilakukan di seluruh dunia, apapun alasannya. Namun di sisi lain, pemerintah Prancis menyatakan rasa hormatnya atas kedaulatan Indonesia.

Pemerintah Prancis juga meminta agar proses tersebut berjalan adil sesuai Konvensi Internasional Hak Asasi Manusia.

Senada dengan Fabius, istri Atlaoui, Sabine Atlaoui juga menyatakan bahwa dia dan keluarganya menghormati semua proses hukum di Indonesia.

"Semoga upaya hukum ini dapat berjalan dengan baik dan dapat diterima oleh pengadilan. Saya berharap suami saya bisa bebas dari hukuman mati," ujar dia.

Sabine Atlaoui juga menyatakan permintaan maafnya kepada pemerintah dan rakyat Indonesia.

"Saya dan suami saya meminta maaf kepada pemerintah serta masyarakat Indonesia atas tindakan yang telah dilakukan suami saya selama di Indonesia," kata dia dengan nada pilu.

Dia menambahkan suaminya selama ini adalah tulang punggung keluarga, namun sejak dia ditahan, dirinya yang mengambil alih peran suaminya dengan melakukan berbagai pekerjaan dari pelayan di rumah makan hingga petugas kebersihan di hotel.

Sabine Atlaoui juga berterima kasih atas pelayanan pihak Lembaga Permasyarakatan Pasir Putih, Pulau Nusakambangan, Cilacap, yang merawat suaminya dengan baik dan menciptakan suasana yang menyenangkan ketika dia membawa keempat anaknya berkunjung.

"Saya selalu disambut baik jika berkunjung ke lapas. Suami saya dalam keadaan sehat dan para petugas lapas juga bisa menciptakan suasana yang menyenangkan ketika saya membawa anak-anak. Saya berterima kasih untuk itu," ujar Sabine Atlaoui.

Duta Besar Corinne Breuze juga mengapresiasi pemerintah Indonesia terkait pemenuhan hak hukum Serge Atlaoui.

"Kementerian Hukum dan HAM, Dirjen Pemasyarakatan serta pihak Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Pasir Putih selalu mengabulkan permohonan kunjungan keluarga ataupun dalam rangka perlindungan konsuler Prancis," ujar Breuze.

Memang, hingga kini, pemerintah belum menentukan kapan akan melakukan eksekusi mati tahap kedua, setelah sebelumnya Kejaksaan Agung RI telah mengeksekusi mati enam terpidana narkoba pada 18 Januari 2015.

Namun, menurut keterangan pemerintah dan beberapa ahli hukum seperti mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, pengajuan PK tidak akan mempengaruhi pelaksanaan eksekusi.

Sepertinya, Prancis dan Atlaoui masih harus berusaha keras agar bisa terhindar dari hukuman mati.

Oleh Michael Teguh Adiputra Siahaan
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015