... ingin sesuatu yang instan. Sementara bekerja di laut itu dianggap tidak pasti... "
Depok, Jawa Barat (ANTARA News) - Kepala Staf TNI AL, Laksamana TNI Ade Supandi, mengatakan, perubahan paradigma bangsa dari maritim ke agraris bermula di jaman penjajahan kolonial Belanda. Belanda yang ukurannya mini bisa menjajah Indonesia nun jauh di sana karena budaya maritimnya unggul. 

Akibatnya hingga kini, bangsa Indonesia lebih memilih bekerja di darat dan enggan berkiprah di bidang kelautan dan maritim. Apalagi pada masa Orde Baru berkuasa hampir semua aspek pembangunan "berorientasi darat". 

Dalam kuliah umum bertajuk "Budaya Maritim dari Persepektif Angkatan Laut" yang digelar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Kamis, Supandi mengatakan, "Tradisi kebaharian kita luntur karena kolonialisme. Penjajahan merupakan sebab utamanya."

"Selama 350 tahun dijajah, itu berarti sudah terjadi selama 12 generasi," kata dia.

Sebelum terjadi pergeseran faktor ruang hidup dari pantai ke darat, Indonesia pernah berjaya menguasai laut ketika jaman kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.

Namun demikian, mengutip data Badan Pusat Statistik, dia katakan, dari 237 juta penduduk Indonesia saat ini, hanya ada sekitar satu persen atau 2.313.006 orang yang bekerja atau menjadi pegiat di bidang kemaritiman. Termasuk di dalamnya 70.000 personil TNI AL.

Indonesia juga menempati peringkat 48 dalam hal Uncertainty Avoidance Index dari 53 negara yang disurvei.

Hal itu menunjukkan masyarakat Indonesia kebanyakan memilih menghindari sesuatu yang tidak pasti. "Mereka ingin sesuatu yang instan. Sementara bekerja di laut itu dianggap tidak pasti," kata dia. 

Banyak "percepatan" alias hal instan ditempuh untuk mengejar ketertinggalan, di antaranya konektivitas kawasan dan manusia dalam kota Jakarta yang diwujudkan melalui pembangunan jalan tol yang kini dirasakan akibatnya berupa kemacetan dan inefisiensi parah. 

"Pelaut bisa berpisah enam bulan dengan keluarganya jika melaut. Sementara karakter maritim itu menuntut manusia untuk memberikan keikhlasan membagi hidupnya dengan laut," kata dia. 

"Padahal laut membutuhkan ketekunan, dan memberikan tantangan serta ruang inovasi," kata Supandi.

Sementara itu, Njaju Jenny Malik, Sekretaris Dewan Guru Besar FIB UI, yang juga menjadi pembicara di kuliah umum itu, mengatakan, perlu revitalisasi terhadap budaya maritim untuk merubah paradigma masyarakat.

Malik mencontohkan perubahan paradigma itu seperti yang terjadi di Bangka, di mana masyarakat sekarang enggan menjadi pelaut tapi lebih memilih menjadi penambang timah. "Bahkan sampai rumahnya dikorbankan untuk menambang timah," kata dia.

Budaya dari luar juga mempengaruhi perkembangan budaya maritim generasi Indonesia, kata pakar budaya itu.

"Anak-anak mungkin tidak lagi mengenali bandeng presto yang terkenal dari Semarang," kata dia. Anak muda lebih gemar makan ikan yang diolah menjadi sushi (masakan khas Jepang) di restoran-restoran, dan mereka tidak peduli asal-usul dari mana ikan-ikan itu didapat.

"Pada 2045 kita akan menghadapi bonus demografi di mana usia produktif lebih banyak dari usia lain. Kalau anak-anak tidak dirintis untuk mencintai laut dari sekarang, jangan sampai hal itu menjadi bencana ke depannya," kata guru besar ilmu budaya itu.

Oleh karena itu, hal yang paling penting, menurut dia, adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perluasan lapangan kerja di bidang maritim. Tinggal bagaimana visi pembangunan dan perwujudannya dari sisi pemerintah secara jangka panjang.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015