Denpasar (ANTARA News) - Indonesia yang memprioritaskan pembangunan bidang pertanian dan menargetkan mampu meraih kembali swasembada pangan dalam tahun 2017 hendaknya tidak ragu melakukan proteksi dan subsidi sektor tersebut.

"Negara maju sudah lebih awal melakukan hal itu untuk melindungi para petaninya, sehingga Indonesia juga harus segera melakukannya," kata Kepala Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof Dr Wayan Windia di Denpasar, Sabtu.

Ia mengatakan, pihak dana moneter internasional (IMF) telah menawarkan atau mungkin lebih tepat memaksakan konsep tersebut kepada Indonesia, ketika Indonesia menghadapi krisis.

Sementara negara maju memiliki dua alat untuk melindungi masyarakatnya, yakni kebijakan pajak impor dan subsidi ekspor. Kebijakan pajak impor dimaksudkan untuk meninggikan harga produk yang diimpor.

Dengan demikian harganya akan mahal, melalui upaya itu diharapkan akan dapat menumbuhkan produksi dalam negeri. Sementara itu, subsidi ekspor adalah kebijakan untuk mendorong ekspor.

Upaya itu akan menjadikan harga produk dalam negeri menjadi mahal, sehingga akan merangsang tumbuhnya produksi dalam negeri.

Windia menjelaskan, dalam perdagangan bebas, tidak memungkinkan untuk melaksanakan kebijakan pajak impor. Oleh sebab itu, negara maju akan melaksanakan kebijakan subsidi ekspor.

Hal itu menyebabkan negara kurang berkembang yang umumnya lemah, akan terpaksa harus mengimpor barang-barang yang harganya di pasar dunia relaif rendah, sebagai akibat adanya kebijakan subsidi ekspor.

Windia menambahkan, aneka jenis barang impor yang masuk ke Indonesia dengan harga yang relatif murah, umumnya lebih murah dibandingkan dengan harga barang sejenis produksi dalam negeri.

Demikian pula halnya sektor pertanian, hal itu tentu sangat merugikan petani produsen, apalagi Pulau Bali sebagai daerah wisata dunia, sehingga sangat banyak memerlukan bahan makanan, yang didominasi oleh produk luar negeri, ujar Prof Windia.

Pewarta: IK Sutika
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015