Mereka berkeliaran di jalan, disangka orang gila"
Jakarta (ANTARA News) - Masih jelas dalam ingatan Sutarti bagaimana ia berusaha membujuk para orangtua untuk menyekolahkan anaknya di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus Darma Putra, Kecamatan Semin, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta.

"Awalnya kami nggak direspons. 'Itu gurunya orang gila'," kata Sutarti di kantornya, Sabtu (28/3).

Sebelum tahun 1992, belum ada sekolah untuk anak berkebutuhan khusus di daerah itu meski tergolong banyak penyandang tunagrahita.

Sutarti yang kala itu sudah menjadi guru SLB di Wonosari tersentuh untuk mendirikan sekolah di sana. Apalagi, kala itu masyarakat belum berpikiran terbuka tentang penyandang tunagrahita.

"Mereka berkeliaran di jalan, disangka orang gila," kata dia.

Sambil mengelus dada, ia berusaha meyakinkan para orang tua anak berkebutuhan khusus itu untuk mengajari mereka.

"Orang ini sama saja dengan kita, hanya porsinya yang berbeda," kenangnya.

Ia mengaku saat itu, ia dan rekannya saat itu tidak punya modal untuk mendirikan sekolah selain niat baik.

Ia pun mendekati orang-orang yang peduli untuk bisa mendirikan sekolah.

Ia bertemu dengan seorang warga yang peduli dan bersedia meminjamkan rumahnya untuk dipakai belajar.

"Lalu orang itu meninggal, saya semakin merasa ini amanat," kata Sutarti.

Kala itu, ia mengajar 26 anak berkebutuhan khusus dari dasar.

"Melatih mandi, merawat diri, mencuci. Usia 15-20 tahun mereka nggak bisa mandi sendiri," kata Sutarti yang kini menjabat sebagai Kepala SBAK Darma Putra.

Perjuangannya berbuah saat ia mendapat donasi dari luar negeri untuk mendirikan ruang kelas.

Dengan bantuan dari berbagai pihak, misalnya PT Indofood Sukses Makmur Tbk, sekolah kini memiliki asrama, dapur dan ruang makan.

Jumlah murid kini yang mencapai 85 orang penyandang kebutuhan khusus seperti tunagrahita, tunarungu, dan tunanetra dari tingkat TK hingga SMA.

Ada juga lulusan sekolah tersebut yang enggan kembali ke rumahnya karena merasa nyaman tinggal di sekolah tersebut.

Mereka dapat masuk Sekolah Karya yang kegiatannya berwirausaha, seperti berjualan di warung.

Di sana, para siswa juga diajari keterampilan wirausaha seperti beternak ayam, menanam jahe merah.

Janu Herjanto, mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada yang menjadi Ketua Paguyuban Karya Salemba Empat, mengatakan ia dan teman-teman di organisasinya mendampingi sekolah, salah satunya dalam program peternakan ayam, agar mereka menjadi mandiri.

Sekitar seminggu dua kali, secara bergantian mendatangi sekolah untuk memantau kegiatan.

WUlan Fatimah Rohman selaku Ketua Pelaksana program di sekolah tersebut mengatakan kegiatan yang mereka lakukan di sana berorientasi wirausaha karena sekolah mengalami kendala dana.

"Supaya mereka lebih berdaya," kata mahasiswi Fakultas Biologi itu.

Adik-adik di SBAK, kata Wulan, juga mau membantu mereka bekerja.

"Mereka nggak pernah mengeluh," katanya.

Kendala biaya diakui Sutarti karena mereka tidak memiliki donatur tetap untuk membiayai sekolah, hampir semuanya adalah donatur insidental.

"Sementara untuk menarik biaya, saya nggak bisa," kata Sutarti.

Banyak keluarga yang menyekolahkan anaknya di sana merupakan keluarga kelas menengah ke bawah.

"Saya hanya ingin menghidupi anak-anak itu," kata dia.

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015