Brussels (ANTARA News) - Negara-negara kaya memberikan subsidi ekspor untuk teknologi bahan bakar fosil sampai lima kali lebih banyak dari pada subsidi untuk teknologi energi terbarukan dalam satu dekade lebih menurut data Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) yang dilihat kantor berita Reuters.

Data-data kredit ekspor organisasi kerja sama ekonomi dan pembangunan itu menggarisbawahi skala investasi negara-negara maju dalam mengekspor teknologi bahan bakar yang paling menimbulkan pencemaran ketika Uni Eropa memimpin upaya pencapaian kesepakatan global untuk mengendalikan emisi dan pentahapan untuk meniadakan subsidi batu bara domestik.
 
Dokumen bertanggal 4 Maret, ketika OECD melakukan pembicaraan tertutup mengenai masalah itu, menunjukkan bahwa pemerintah-pemerintah yang tergabung dalam OECD menyediakan pinjaman istimewa dan jaminan negara senilai 36,8 miliar dolar AS antara 2003 dan 2013 untuk ekspor teknologi pembangkit listrik berbahan bakar fosil, termasuk hampir 14 miliar dolar AS untuk batu bara.

Sebuah dokumen dari Oktober 2014 menunjukkan 52,6 miliar dolar AS lain dalam kredit ekspor dialokasikan untuk ekstraksi bahan bakar fosil termasuk batu bara sehingga total dukungan untuk ekspor teknologi bahan bakar fosil sampai 89,4 miliar dolar AS.

Sementara kredit ekspor untuk energi terbarukan, yang tidak punya biaya ekstraksi, hanya 16,7 miliar dolar AS.

Seorang juru bicara OECD mengatakan dia tidak bisa memberikan komentar tentang dokumen-dokumen bertanda rahasia itu.

Tapi dokumen-dokumen itu menyatakan bahwa data-data tersebut harus disampaikan ke publik.

"Ada kebutuhan mendesak untuk menyampaikan angka-angka yang koheren, lengkap dan akurat pada laporan kredit ekspor yang relevan dengan masalah-masalah perubahan iklim," demikian tulisan dalam dokumen bertanggal 4 Maret.

Para pejabat Uni Eropa, yang berbicara dengan syarat namanya tak disebut, mengatakan pembicaraan Maret mengalami kemajuan dan masalah-masalah itu akan dibicarakan lagi di tingkat OECD pada Juni.

OECD menyatakan menginginkan satu keputusan tentang bagaimana kredit ekspor bisa membantu mengatasi dampak perubahan iklim pada pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang bermula 30 November di Paris.

Perdebatan dalam Uni Eropa, yang meliputi dua per tiga anggota OECD, buntu karena Polandia diblokir karena terlalu ambisius ingin mengompromikan pendanaan ekspor hanya untuk teknologi batu bara paling efisien, kata pejabat Uni Eropa.

Sementara Inggris dan Prancis menolak karena menilai kompromi itu tidak terlalu ambisius.

Jerman, negara Uni Eropa yang paling banyak menggunakan kredit ekspor untuk batu bara maupun energi terbarukan, menurut data itu, berencana menerapkan kebijakan untuk membuat pembangkit berbahan bakar batu bara mengendalikan produksi di sarana-sarana paling tua dan paling mencemari untuk mencapai target-target iklim.

Sebuah surat untuk Komisi Eropa dari asosiasi-asosiasi industri seperti European Power Plant Suppliers Association, EU Turbines dan VDMA menyatakan menghambat kredit ekspor batu bara akan mengunci negara-negara berkembang pada teknologi kurang efisien dan mengurangi daya saing industri Eropa.

Para pengampanye lingkungan mengabaikan argumen itu.

Seperti dilansir kantor berita Reuters, Sebastien Godinot, ahli ekonomi WWF, mengatakan industri telah "gagal membawa bukti-bukti konkret bahwa kebijakan pendanaan ekspor OECD menggerakkan penggunaan teknologi-teknologi yang lebih efisien."

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015