Pak Jokowi jangan mudah percaya dari orang yang tidak bertangung jawab. Masih ada lahan yang belum dijual. Apakah layak kalau PLTU didirikan di desa kami yang subur...
Jakarta (ANTARA News) - Sambil sesenggukan Murifah menyampaikan harapannya agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghentikan rencana pembangunan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara di Batang, Jawa Tengah.

Ia datang ke Jakarta bersama perwakilan warga Batang yang tergabung dalam Paguyuban Ujung Negoro, Karanggeneng, Ponowareng, dan Roban (UKPWR) untuk menyampaikan penolakan mereka pada rencana pembangunan PLTU berbahan bakar batubara di Batang.

"Pak Jokowi jangan buat laporan palsu ke Jepang bahwa pembebasan lahan untuk PLTU Batang sudah selesai. Kalau Pak Jokowi tidak percaya, silakan tanya langsung ke warga, turun ke lokasi," kata Murifah, warga Karanggeneng yang mewakili kaum tani, saat memberikan keterangan kepada wartawan.

Saat mengunjungi Jepang pekan lalu, Presiden Jokowi menyatakan kepada komunitas bisnis di negara itu bahwa masalah pembebasan lahan untuk PLTU Batang sudah selesai.

"Pak Jokowi jangan mudah percaya dari orang yang tidak bertanggung jawab. Masih ada lahan yang belum dijual. Apakah layak kalau PLTU didirikan di desa kami yang subur, yang bisa panen sampai tiga kali setahun?" tambah dia.

Murifah, yang sebelumnya bekerja sebagai buruh tani, kini terpaksa menganggur karena banyak sawah di desanya sudah dijual untuk pembangunan PLTU.

"Saya pengangguran karena banyak yang jual lahan. Kalau Pak Jokowi seperti itu, saya mau minta tolong kepada siapa lagi. Warga selalu ditekan, diintimidasi, yang tidak salah dipenjara, saya pun sudah dipanggil ke kantor Polres," tuturnya.

Pembangunan PLTU Batang membutuhkan sekitar 226 hektare lahan.

Greenpeace mencatat pembangunan PLTU yang diklaim akan menjadi PLTU terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 2000 megawatt (2x1000 megawatt) itu memangsa lahan pertanian produktif, sawah beririgasi teknis seluas 124,5 hektare, perkebunan melati seluas 20 hektar, serta sawah-sawah tadah hujan.

Selain itu lokasi pembangunan PLTU ada di Kawasan Konservasi Laut Daerah Ujungnegoro-Roban, salah satu perairan paling kaya ikan di pantai utara Jawa.

Saat ini masih ada 29,8 hektare lahan milik 74 warga yang belum dijual. Mereka yang belum menjual lahan mengaku mengalami intimidasi dan kekerasan.

Mereka juga diancam dengan Undang-Undang No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum supaya mau melepas lahan.

Cayadi, seorang pemilik lahan di Karanggeneng, mengatakan dia harus mendekam di penjara selama tujuh bulan karena dituduh melakukan kejahatan yang tidak pernah ia lakukan.

"Karena saya punya lahan, saya pertahankan lahan saya sampai sekarang tidak dijual karena saya dan warga menolak adanya rencana pembangunan PLTU," katanya.

"Saya tidak melakukan kesalahan apapun, hanya fitnah dari oknum-oknum yang menjatuhkan saya karena saya tidak mau menjual lahan. Di penjara pun saya mendapat tekanan dan saya diiming-imingi bebas kalau saya mau jual lahannya," tambah dia.

Tokoh agama dari Desa Ujungnegoro, Karomat, juga mengatakan bahwa warga juga dibuat ketakutan oleh aksi para preman.

"Permainan dalam jual beli yang dilakukan yang berkuasa, adanya preman yang bertindak sampai warga merasa ketakutan, perilaku itu seperti penjajah... Itu perilaku yang jahat dan tidak sopan," katanya.

"Ketika Pak jokowi mau ambil keputusan, apakah pembangunan ini sesuai tata ruang, sedangkan jual beli melanggar tata tertib negara dan menodai undang-undang karena tanah produktif di desa kami membangun pangan nasional," kata Karomat.


Tetap menolak

PLTU Batang merupakan bagian dari proyek Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Pembangunannya akan didanai oleh Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan beberapa bank swasta Jepang.

PT Bhimasena Power Indonesia (BPI), yang memenangkan tender pembangunan pembangkit listrik itu, merupakan konsorsium yang terdiri atas PT Adaro Power, J-Power, dan Itochu Corp.

Warga Batang yang tergabung dalam Paguyuban UKPWR selama hampir empat tahun berusaha mempertahankan lahan pertanian produktif dan kawasan kaya ikan tangkap mereka dengan menolak rencana pembangunan PLTU tersebut.

"Proses rencana pembangunan PLTU batang menunjukkan hak-hak yang melanggar hukum karena kawasan konservasi lautan daerah adalah tempat persis area yang akan di bangun PLTU," ujar Nurhakim, seorang nelayan dari Desa Roban Timur.

Ia menambahkan bahwa dalam setahun nelayan di kawasan tersebut bisa menghasilkan lebih dari Rp7 miliar dari 250 kapal yang masing-masing berkapasitas 13 ton.

"Banyak nelayan dari Rembang, Pati, Jakarta, dan Jawa Timur yang beroperasi di perairan Batang karena laut yang masih murni, makmur, mengeluarkan banyak hasil tangkapan," kata Nurhakim.

Ia bersama puluhan perwakilan warga yang terdiri atas pemilik lahan, petani, nelayan, dan buruh tani datang ke Jakarta untuk menyampaikan fakta-fakta yang terjadi di Batang dalam beberapa bulan terakhir dan mengulang penolakan mereka pada rencana pembangunan pembangkit listrik tersebut.

"Sekali lagi kami tegaskan bahwa kami menolak PLTU Batang yang akan dibangun di desa kami. Presiden Jokowi harus mendengarkan suara kami karena kami adalah pendukung kuat Beliau selama pemilihan Presiden," katanya.

"Kami percaya bahwa Jokowi akan mempertimbangkan kedaulatan pangan sebagai prioritas utamanya. Tanah, dan laut kami adalah salah satu yang paling subur dan produktif di Pulau Jawa," kata Roidi, warga lainnya.

Roidi juga mengatakan bahwa rencana pembangunan pembangkit listrik itu juga telah mengganggu keharmonisan warga di desanya.

"Saya mengalami sendiri, banyak saudara dan teman yang menjauh. Contohnya dengan paman saya sendiri yang rumahnya hanya berjarak lima meter dari rumah saya. Bahkan ketika ada warga yang meninggal, misal dari warga yang pro, maka warga yang kontra tidak melayat. Begitu juga sebaliknya," tutur Roidi.


Data Greenpeace

Greenpeace Indonesia menyatakan bahwa laporan mengenai proses pembebasan lahan untuk pembangunan PLTU Batang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.

"Faktanya sampai hari ini masih ada puluhan hektare lahan yang masih tetap dipertahankan warga UKPWR," kata Ketua Tim Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Arif Fiyanto.

Ia juga mengatakan bahwa ada banyak kejanggalan, pelanggaran, dan konflik sosial yang timbul selama proses pembebasan lahan untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga uap itu.

"Sejak 2012, PLN selalu berargumen kalau PLTU Batang tidak dibangun maka akan terjadi krisis listrik. Kami tidak menafikan kita butuh sumber listrik tetapi sumber listrik tidak harus mengorbankan warga," katanya.

"Ini adalah masalah komitmen politik pemerintah yang kurang memanfaatkan sumber energi geothermal, padahal Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar di dunia," jelas Arif.

Arif juga mengatakan bahwa pembangunan PLTU Batang justru akan menjadi ancaman bagi upaya pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan pangan.

Menurut dia, untuk mencapai kedaulatan energi Presiden Jokowi harus memulai revolusi energi dengan mendukung pengembangan energi terbarukan sebesar-besarnya di era pemerintahannya.

"Salah satu visi Jokowi dalam Nawacita adalah mencapai kedaulatan pangan di Indonesia. Namun, Jokowi memaksakan pembangunan PLTU di Batang, maka Jokowi mengkhianati visinya sendiri. Lahan produktif ini harus dipertahankan untuk mendukung pencapaian kedaulatan pangan," demikian Arif Fiyanto.

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015