Jakarta (ANTARA News) - Hijrah. Berpindah dari suatu tempat ke tempat lain demi hal yang lebih baik. Itulah yang dilakukan Haji Oemar Said Tjokroaminoto selama hidup, terus berusaha dengan caranya sendiri untuk mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera melalui persamaan hak.

Pria yang dijuluki Raja Jawa Tanpa Mahkota itu membuka akses politik untuk rakyat melalui organisasi Sarekat Islam yang anggotanya hingga dua juta orang dan tersebar di berbagai kota di Indonesia.

Tjokro adalah guru bagi para pemuda yang kemudian menjadi tokoh berpengaruh di Tanah Air, termasuk Presiden Pertama Soekarno, Ketua Umum Pertama Partai Komunis Indonesia Semaoen, serta pemimpin PKI Alimin dan Moesso.

Tjokro menghargai setiap ideologi selama tidak dijalankan dengan kekerasan. Dia mengusung ideologi dengan bahasa sederhana agar bisa dipahami masyarakat yang mayoritas buta huruf.

Sutradara Garin Nugroho menginterpretasikan cuplikan kehidupan Tjokro sampai tahun 1921 dalam "Guru Bangsa Tjokroaminoto" dalam alur maju mundur.

Tidak hanya kehidupan yang tercatat dalam buku-buku sejarah, melainkan juga kehidupan pribadi Tjokro bersama keluarga dan rekan-rekan perjuangannya.


Para pelakon


Reza Rahadian, yang menghidupkan karakter Bacharuddin Jusuf Habibie dalam film sebelumnya, didaulat menjadi pemeran utama film tentang Haji Oemar Said Tjokroaminoto.

Dengan referensi terbatas dan diskusi panjang bersama sutradara, Reza berusaha menginterpretasikan sosok Tjokroaminoto.

Berbeda dengan saat memerankan karakter Habibie dalam "Habibie & Ainun", kali ini Reza harus membayangkan sendiri bagaimana cara Tjokro berbicara atau berpidato karena dia hanya bisa melihat tokoh yang dia perankan dari foto-foto lama.

"Pekerjaan rumah saya banyak sekali (untuk menginterpretasikan Tjokro), tapi saya senang karena ada kesempatan bagi saya untuk berkembang sebagai aktor," tutur Reza.

Garin menggabungkan aktor muda dan senior dalam film biopik yang risetnya memakan waktu dua tahun itu.

Wajah-wajah yang tak asing di layar lebar seperti Christine Hakim, Sujiwo Tejo, Alex Komang semasa hidup, Didi Petet dan Egi Fedly hadir dalam film itu.

Selain itu, ada penampilan dari Ibnu Jamil, Chelsea Islan, Putri Ayudya, Tanta Ginting, Deva Mahenra, Christoffer Nelwan, Alex Abbad, Ade Firman Hakim, Gunawan Maryanto, dan Jay Widjajanto.

Sementara kaum Belanda diperankan oleh Arjan Orderdenwijngaard, Gerard Mosterd, Rudi Corens, Martin Van Bommel, Paul Agusta dan Joanna Dudley.

Garin pun mengajak pemain ludruk dari Surabaya dan pemain teater Yogyakarta untuk mengisi peran rekaan yang tidak ada dalam catatan sejarah namun memberi sentuhan humor dalam film berdurasi lebih dari dua jam itu.

Penyanyi Maia Estianty, cicit Tjokroaminoto, juga diajak ikut berperan menjadi ibu Suharsikin. Awalnya dia enggan. Namun desakan dari keluarga besar membuatnya luluh dan setuju untuk berpartisipasi.

"Saya bangga, ansambel pemain baik sekali," ujar Garin usai pemutaran perdana di Jakarta, Selasa (31/3).

Dia pun berseloroh bahwa sebagian akting terbaik Christine Hakim yang berperan sebagai asisten Suharsikin terpaksa dipotong agar keseimbangan akting antar pemain tetap terjaga.


Kehidupan Jawa silam

Garin berusaha menyajikan latar kehidupan masyarakat Jawa era 1900-an menggunakan properti buatan studio khusus.

"Set dibangun di Yogya, dibuat di studio sendiri, trem dan mobil tua pun dibikin sendiri," ungkap dia.

Garin ingin penonton benar-benar menyelami kehidupan masa itu dengan menampilkan kondisi sosial ekonomi seakurat mungkin, mulai dari tanam paksa hingga hiburan masa itu yang diwakili Komedie Stanboel.

Itu membuat "Guru Bangsa Tjokroaminoto" bisa menjadi salah satu alternatif untuk memahami sejarah dengan cara menyenangkan.

"Film ini untuk mereka yang berniat memahami negeri ini. Kita perlu paham asal usul politik," kata Garin.

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015