Konferensi Bandung adalah salah satu langkah besar yang membawa perubahan di Afrika Selatan"
Jakarta (ANTARA News) - Diiringi senyum, Saeedah Cachalia membuka pintu gerbang rumahnya, menyambut dua wartawan Indonesia yang Selasa pekan lalu (24/3), mengunjungi kediamannya di sudut elite Houghton di Johannesburg, Afrika Selatan.

Kami berangkat dari Pretoria, ibu kota negeri itu, dan butuh sekitar satu jam dari sana untuk mencapai rumah Saeedah yang mungkin setara kawasan Menteng di Jakarta.

Mengenakan kerudung coklat muda dan abaya hitam, Saeedah (75) menuntun kami berjalan menyusuri teras dan menaiki beberapa anak tangga, menuju ruang tamu.

Satu kaligrafi besar bertuliskan "Laa ilaaha ilallaah" menghiasi dinding putih ruangan yang pada satu sudutnya terpajang foto hitam putih ayahnya, Ismail Ahmed Cachalia.

Ismail yang lebih dikenal Molvi Ismail Cachalia adalah salah seorang dari dua tokoh Afrika Selatan yang menghadiri Konferensi Asia Afrika, 60 tahun silam, ketika negeri itu masih dicengkeram rezim rasis apartheid.

Molvi yang berdarah India itu lahir pada 5 Desemeber 1908 di satu daerah yang kemudian menjadi salah satu provinsi di Afrika Selatan, Transvaal.

Ia berayahkan seorang pejuang kemerdekaan dan kesetaraan seperti dirinya. Si ayah pernah memimpin Asosiasi India Inggris dan sempat dipenjara lama oleh pemerintah kolonial Inggris karena terlibat gerakan perlawanan damai pimpinan Mahatma Gandhi.

Gandhi si bapak bangsa India itu memang pernah tinggal di Afrika Selatan selama 21 tahun. Ia memulai petualangan hidup bermaknanya di Afrika Selatan pada 1893 sebagai pengacara untuk asosiasi pedagang muslim India di Pretoria.

Dari tahun ke tahun, Gandhi mendapati ketidakadilan, diskriminasi dan penistaan hak-hak manusia terjadi di mana-mana, di setiap waktu, di Afrika Selatan. Dan itu semua mengeraskan pandangan politiknya yang anti-kolonial yang kelak dibawanya ke negeri asalnya, India.  Gandhi kembali ke India pada 1915, dan pada 1947 memimpin perlawanan damai terhadap pemerintah kolonial Inggris sampai India merdeka tahun itu.

Akan halnya Molvi, pada usia 16 tahun dia melintasi Samudera India dari Afrika Selatan untuk studi teologi muslim di Deoband, India.  Setelah banyak bersentuhan dengan ide antikolonial dan diskriminasi Gandhi di India, beberapa tahun kemudian dia kembali ke Afrika Selatan dan memobilisasi kaum muda keturunan India di Afrika Selatan untuk memperjuangkan kesetaraan hak di sana pada 1930-an.

Pada 1946-1947, dia memimpin perlawanan damai komunitas India di Afrika Selatan. Itu adalah periode sama dengan gerakan mogok para pekerja tambang Afrika. Keduanya dianggap titik balik sejarah perlawanan warga kulit berwarna di Afrika Selatan setelah komunitas India ini membentuk aliansi politik dengan Kongres Nasional Afrika (ANC).

ANC sendiri didirikan pada 8 Januari 1912 di Bloemfontein, masih dalam nama Kongres Nasional Pribumi Afrika Selatan (SANNC). Tujuannya, meningkatkan hak-hak warga hitam Afrika Selatan. Pada 1923 organisasi ini berubah menjadi ANC, yang 38 tahun kemudian mendirikan sayap militer Umkhonto we Sizwe.

Pada April 1955, bersama Moses Kotane, Molvi diutus aliansi organisasi penentang apartheid pimpinan ANC tersebut untuk menghadiri Konferensi Asia dan Afrika di Bandung. Mereka memanggul misi menyampaikan penderitaan mayoritas rakyat Afrika Selatan di bawah rezim apartheid, kepada dunia.

Ternyata gerakan Asia-Afrika yang dipelopori Presiden Soekarno itu menjadi pendorong bagi tonggak perlawanan antidiksriminasi rasial di Afrika Selatan karena dua bulan, pada 26 Juni 1955, Aliansi Kongres pimpinan ANC itu mengadopsi Piagam Kebebasan yang berisi tuntutan bagi terbentuknya masyarakat non rasial dan pengakhiran diskriminasi di negeri itu.

KAA mengubah Afrika Selatan

Tidak banyak yang Saeedah ceritakan mengenai sosok ayahnya. Ia hanya menyodorkan beberapa lembar kertas berisi keterangan tentang perjalanan Molvi dan Kotane muda menuju Indonesia.  Namun anak ketiga dari lima bersaudara ini mengenang Molvi sebagai orang yang rendah hati, memikirkan sesama, dan menentang keras apartheid.

"Ayah saya sangat pendiam di masa mudanya... Yang saya ingat, ayah pernah berkata bahwa semua yang ia lakukan semata demi Allah," kata Saeedah yang ternyata juga aktivis seperti ayah dan kakeknya.  Sama dengan kedua tokoh itu, Saeedah juga pernah mendekam di penjara selama 16 bulan tanpa melalui persidangan apa pun.

Saeedah lebih banyak memberi kesempatan saudara laki-lakinya, anak tertua Molvi, Yehia Cachalia (76), untuk menceritakan perjalanan sang ayah dan Moses Kotane saat menghadiri KAA di Bandung demi menyuarakan rintih derita warga kulit berwarna di Afrika Selatan.

"Kami (anak-anak Molvi) masih sangat muda saat itu ketika Molvi mendapat undangan ke Bandung. Tapi saya masih bisa mengingatnya...itu momen yang menginspirasi dan emosianal," kata Yehia.

Molvi dan Kotane meninggalkan Afrika Selatan tanpa paspor, menuju London dan bertemu Krishna Menon yang membantu mereka mengeluarkan dokumen perjalanan sehingga dapat melakukan perjalanan ke Mesir, India, Singapura, lalu Indonesia.  Saat di London itu, Molvi dan Kotane menggalang dukungan politik untuk memerangi apartheid.

Mendarat di Kairo, Molvi dan Kotane ditangkap dan diinterogasi polisi, namun kemudian dilepaskan. Mereka bertemu Perdana Menteri Mesir saat itu yang juga Ketua Dewan Revolusi dan kelak menjadi Presiden, Gamel Abdel Nasser. Mereka  berhasil mendapat dukungan Nasser bagi pembebasan Afrika Selatan dari cengkeraman apartheid.

Di India, dua aktivis politik ini bertatap muka dengan PM Jawaharlal Nehru yang jelas menentang apartheid. Penggalangan dukungan berlanjut di Singapura, di antara kalangan organisasi warga keturunan Melayu, Tionghoa, dan India.

Setelah melewati perjalanan panjang, Molvi dan Kotane tiba di Bandung untuk duduk bersama dengan para tokoh dari 28 negara pada 18 April di Gedung Merdeka. Di hadapan para peserta, delegasi Afrika Selatan itu menyampaikan memorandum 32 halaman menentang apartheid.

Sikap keras ditunjukkan Konferensi Bandung dengan mengutuk apartheid sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Para peserta konferensi menyatakan prinsip-prinsip kesetaraan dan hak suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, yang tertuang dalam Dasa Sila Bandung.

"Konferensi Bandung adalah salah satu langkah besar yang membawa perubahan di Afrika Selatan," kata Saeedah.

Afrika Selatan memang mencatat tegas bahwa Konferensi Bandung atau Konferensi Asia Afrika adaklah momen penting dalam proses mencapai pembebasan dan demokrasi, dengan peran dua pemuda pemberani Molvi dan Kotane yang terpatri dalam sejarah.

Setelah Piagam Kebebasan 26 Juni 1955, gerakan anti-apartheid yang kemudian dunia mengenalnya dipimpin oleh tokoh kharismatis Nelson Mandela mencapai momentum besarnya, hingga lalu mengundang tekanan dunia international kepada rezim Afrika Selatan. Akhirnya era apartheid berakhir saat Afrika Selatan menggelar Pemilu pada 1994 yang dimenangkan ANC dan menaikkan simbol anti-apartheid, Nelson Mandela, ke kursi kepresidenan.

Jangan hanya jamuan teh


Enam puluh tahun pun berlalu sejak KAA digelar pada 1955, ketika Indonesia tengah bersiap menjadi tuan rumah peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika dan 10 tahun Kemitraan Strategis Baru Asia Afrika (NAASP) bulan ini, Saeedah menitipkan suara warga Afrika Selatan.

Menurut dia, semangat KAA dalam meningkatkan kesejahteraan dan mewujudkan perdamaian dunia harus diteruskan pada abad 21. Dia ingin acara itu tak hanya menjadi acara minum teh bersama demi mengenang keberhasilan masa lalu, tanpa hasil nyata bagi kesejahteraan masyarakat Asia dan Afrika.

"Spirit Bandung harus diwujudkan secara nyata melalui peningkatan kerja sama antara Indonesia dan Afrika Selatan dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan budaya," katanya.

Khusus bidang ekonomi, Saeedah berharap kerja sama bilateral Afrika Selatan dengan Indonesia dibawa ke level baru yang makin mendekatkan para pengusaha dan masyarakat kedua negara.

Harapan serupa diutarakan Zweli Mkhize, politikus ANC yang kini menjadi partai terbesar di Afrika Selatan dengan mendominasi kursi parlemen.

Ditemui di ruang kerjanya lantai 8 gedung Partai ANC di Johannesburg, Rabu (25/3), Zweli mengatakan KAA berperan sangat penting dalam upaya melawan apartheid, menyatukan rakyat Afrika Selatan, dan menggalang solidaritas dunia.

Meski dunia kini menghadapi tantangan yang bebeda, ia memandang Dasa Sila Bandung masih relevan untuk zaman ini dan kemudian. Solidaritas, dukungan, dan prinsip saling menghormati masih dibutuhkan di antara negara-negara untuk memerangi kemiskinan, kesenjangan sosial, dan konflik-konflik.

"Kita lihat, ketidakstabilan terjadi di Timur Tengah. Kita juga menghadapi tantangan besar terorisme dan ekstremisme," kata Treasurer General ANC ini.

Sepak terjang ISIS di Suriah dan Irak membuat dunia berang, sementara di Afrika Barat Boko Haram tidak terhentikan. Isu intoleransi pun menyeruak di Eropa dan menciptakan kegelisahan. "Ini adalah masalah yang amat sangat penting untuk dibicarakan pada peringatan KAA," ujarnya.

Ia berharap acara itu fokus membahas semua masalah yang telah disebutnya itu dengan mengedepankan penyelesaian damai. Jika para pemimpin negara melihat semua masalah tersebut maka berarti mereka telah membawa maju agenda KAA yang telah dibahas 60 tahun silam.

Perkokoh kerja sama


Harapan para tokoh Afrika Selatan itu tidak berbeda darin harapan Indonesia sebagai tuan rumah. Presiden Joko Widodo bahkan mengatakan ini adalah momentum baik bagi Indonesia.
 
"Untuk kembali mengingatkan kepada dunia, bahwa kita mempunyai peran yang sangat besar pada saat itu dan kita ingin memori dan ingatan itu, kita ingin angkat kembali," kata Presiden Jokowi saat memimpin rapat terbatas persiapan peringatan KAA Januari lalu.

KTT Asia Afrika dan KTT Bisnis yang digelar dalam rangkaian peringatan 60 tahun KAA sendiri bertujuan memperkuat kemitraan bidang politik, pembangunan ekonomi, dan sosial budaya kedua kawasan, dengan mengedepankan kerja sama baru, nyata, dan dapat dilaksanakan.

"Kita ingin memperkokoh Kerja Sama Selatan-Selatan untuk dapat berkontribusi pada perdamaian dan kesejahteraan dunia," kata Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi.

Menlu menuturkan tiga dokumen akan dihasilkan dalam acara tersebut, yakni deklarasi Pesan Bandung, penguatan Kemitraan Strategis Baru Asia Afrika (NAASP), dan deklarasi dukungan untuk Palestina.

Isi deklarasi penguatan NAASP antara lain mendorong kerja sama konkret pada delapan fokus area yakni menangkal terorisme, menangani kejahatan lintas negara, keamanan pangan, keamanan energi, industri kecil dan menengah, pariwisata, jaringan universitas Asia Afrika, dan kesetaraan gender, sedangkan deklarasi Palestina akan berisi dukungan bagi berdirinya Negara Palestina dan hak-hak dasar warga negara Palestina.

Sebanyak 109 negara diundang dalam acara yang akan berlangsung 19-24 April itu.  Sejauh ini 30 kepala negara/pemerintahan menyatakan hadir, antara lain Raja Swaziland, Raja Vietnam, Presiden Tiongkok, Presiden Srilanka, Presiden Iran, Presiden Mozambik, Perdana Menteri Kamboja, Perdana Menteri Singapura, dan Pemimpin Mahkamah Tertinggi Korea Utara.

Dua pekan lagi, mata dunia bakal tertuju ke Indonesia, akankah perhelatan seratusan negara itu menghasilkan sesuatu yang nyata dan menjawab harapan miliaran manusia dari dua benua ini.


Oleh Heppy Ratna Sari
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015