Jakarta (ANTARA News) - Setelah pertengahan Maret lalu mengeluarkan paket kebijakan guna meningkatkan kinerja perekonomian demi menstablilkan rupiah, kini pemerintah tengah menyusun langkah-langkah lanjutannya.

Dalam kebijakan barunya itu, pemerintah antara lain memberikan fasilitas pajak atau "tax allowance" untuk perusahaan asing yang menginvestasikan kembali keuntungannya di Indonesia. Kebijakan ini untuk mengenjot penanaman modal asing.

Dengan pemberian fasilitas itu, yang dijanjikan segera dikeluarkan pemerintah, diharapkan perusahaan asing tidak merepatriasi seluruh keuntungannya, yang pasti dalam dolar AS, ke negara tempat perusahaan berkantor pusat.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) kabarnya sedang membahas revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2011 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) untuk penanaman modal di bidang usaha tertentu atau "tax allowance".

Kepala BKPM Franky Sibarani mengatakan bahwa pihaknya sedang membahas revisi PP soal "tax allowance". Menurut dia, hasil revisi itu segera akan dikeluarkan.

Fasilitas tersebut, kata dia, juga mudah didapatkan karena menggunakan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP).

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pernah mengatakan bahwa kriteria untuk mendapat fasilitas itu, yakni mencakup tenaga kerja yang diserap, tingkat komponen dalam negeri (TKDN), nilai investasi, dan orientasi ekspor.

Bambang juga mengatakan bahwa revisi yang dikeluarkan untuk reinvestasi supaya laba perusahaan tidak dibawa lari ke luar negeri. "Tax allowance lainnya untuk kegiatan penelitian dan pengembangan skala besar," katanya.



BI dukung

Bank Indonesia (BI) mendukung pemberian fasilitas "tax allowance" kepada perusahaan asing itu. Maklum jumlah dana yang direpatriasi ke luar negeri setiap tahun relatif cukup besar.

Menurut Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo kepada wartawan di Bintan, Kepulauan Riau, akhir bulan lalu, jumlah keuntungan perusahaan asing yang menanamkan modalnya di Indonesia setiap tahun sekitar 17,2 miliar dolar AS.

Dari jumlah itu, sekitar separuhnya atau 8,6 miliar dolar AS diinvestasikan kembali (reinvestasi) di Indonesia, sedangkan 8,6 miliar dolar AS lainnya dibawa pulang atau direpatriasi ke negara asal.

"Dana-dana yang direpatriasi itulah yang sedang diupayakan pemerintah agar direinvestasikan juga di dalam negeri. Kalau dapat 50 persennya, sudah sangat bagus," kata Perry Warjiyo.

Perry optimitis kebijakan pemerintah memberikan fasilitas pajak kepada perusahaan-perusahaan penanaman modal asing (PMA) yang mereinvestasikan labanya di Indonesia bakal mendapat respons positif dari mereka.

"Ini kebijakan jangka pendek-menengah yang dapat mengurangi permintaan terhadap dolar AS sehingga suplai dolar di dalam negeri lebih terkendali dan rupiah dapat lebih terjaga," katanya.



Perlonggar persyaratan


Melalui revisi itu pemerintah kabarnya akan memperlonggar persyaratannya dan bakal memberikan insentif "tax allowance" lebih besar.

Direktur Deregulasi Investasi BKPM Yuliot menjelaskan bahwa salah satu perubahan mendasar direvisi aturan ini adalah perusahaan yang menginvestasikan kembali keuntungannya dan berorientasi ekspor dapat menjadi penerima fasilitas pajak.

Mereka juga mendapat perpanjangan insentif kompensasi atas kerugian usaha.

Jika melakukan investasi kembali, perusahaan itu mendapatkan tambahan kompensasi kerugian selama dua tahun. Kompensasi akan diberikan maksimal hingga 10 tahun.

Bagi perusahaan yang berorientasi ekspor, dia akan mendapat tambahan kompensasi selama setahun. Namun, syaratnya minimal mengekspor 30 persen dari produksi.

Menurut Yuliot, reinvestasi memang kini mendapat perhatian khusus dari pemerintah karena berkaitan dengan ketahanan fundamental dalam negeri.

Pemerintah juga tak mengatur secara spesifik besaran reinvestasi keuntungan. Yang akan dituliskan dalam revisi aturan ini hanya sebagian besar laba yang didapatkan ditanam kembali di Indonesia.

Akan ada mekanisme rapat trilateral, yaitu antara Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kemenkeu, BKPM, dan kementerian sektor terkait untuk membahas apakah perusahaan bersangkutan layak mendapatkan "tax allowance". Tugas Ditjen Pajak adalah melihat secara khusus pada sisi keuangan, terutama pada pembayaran pajaknya.

Di samping itu, pemerintah juga melakukan restrukturisasi terhadap sektor-sektor penerima "tax allowance". Misalnya, melihat ketersediaan sapi bibit untuk sapi potong demi ketahanan pangan. Tadinya investasi yang masuk dibatasi minimal 5.000 ekor, sekarang batasan tersebut dihapus.

Syarat ketentuan yang selama ini membatasi pemberian fasilitas itu, seperti jumlah tenaga kerja, nilai investasi, dan penggunaan komponen dalam negeri pada setiap sektor akan dipermudah ketentuannya. Misalnya, pengusaha juga bisa memilih salah satu persyaratan itu.

Namun, makin besar pemenuhan salah satu atau semua syarat tersebut maka makin besar peluang perusahaan untuk mendapatkan "tax allowance".

Rencananya, melalui revisi PP "tax allowance", ada empat fasilitas bagi perusahaan penerimanya, yaitu pengurangan pajak maksimal 30 persen yang dilakukan dalam periode enam tahun, akselerasi depresiasi dan amortisasi, pemberian kompensasi kerugian minimum lima tahun dan maksimal 10 tahun, dan pengurangan pembayaran dividen dari 20 persen menjadi 10 persen.

Meski kebijakan pemberian fasilitas "tax allowance" dampaknya baru terasakan dalam jangka panjang, langkah lanjutan pemerintah itu patut diapresiasi. Jika fasilitas itu banyak dimanfaatkan PMA, bisa dipastikan adanya pengurangan defisit transaksi berjalan, yang selama ini berkontribusi besar dalam memperlemah nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Masih banyak langkah lanjutan kebijakan yang harus diambil pemerintah sesuai dengan paket kebijakan itu. Misalnya, belum terlihat bagaimana upaya pemerintah mendorong perbaikan struktur perusahaan reasuransi domestik guna mendorong tumbuhnya sektor tersebut.

Juga belum terlihat upaya pemerintah dalam meningkatkan penegakan hukum untuk mendorong implementasi Undang-Undang Mata Uang yang mewajibkan penggunaan rupiah di dalam negeri.

Oleh Ahmad Buchori
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015