Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah praktisi dalam Thamrin School mengingatkan bahwa Indonesia memerlukan konsistensi penegakan hukum yang kuat dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi hampir setiap tahun.

Menurut Reader on Law and Governance dari Thamrin School Mas Achmad Santosa dalam keterangannya diterima Antara di Jakarta, Minggu, enam akar masalah karhutla yang terjadi selama ini dilandasi oleh fakta bahwa ketidakoptimalan sistem deteksi dini.

Hal ini, menurut dia, disebabkan lemahnya koordinasi dalam mendayagunakan data satelit National Oceanic and Atmospheric Administration/Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (NOAA/MODIS) dari Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) maupun Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang terbuka aksesnya.

Ia mengemukakan, tidak ada satu pun perusahaan dari 97 perusahaan perkebunan dan 122 perusahaan kehutanan mematuhi seluruh kewajiban yang diamanatkan peraturan perundang-undangan.

Menurut dia, capaian dari kedua kelompok perusahaan ini kurang dari 50 persen.

Untuk tingkat kepatuhan Pemerintah Daerah (Pemda), dari enam kabupaten dan kota hanya satu kabupaten yang patuh dengan melaksanakan 92,74 persen dari 67 kewajiban. Selebihnya, ia mencatat, dikategorikan kurang patuh dengan hanya melaksanakan 62 persen dari 67 kewajiban.

Faktor ketidaksiapan pemerintah daerah juga ikut berpengaruh. Ironisnya, lanjutnya, ketidaktaatan tersebut hampir sebagian besar tidak diberikan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin, atau pencabutan izin sebagai langkah preventif.

Dalam hal pendayagunaan penegakan hukum pidana, menurut dia, selama ini diterapkan apabila kebakaran hutan dan lahan sudah terjadi.

Sejak 2012, penegak hukum diantaranya Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kementerian Lingkungan Hidup (PPNS KLH), Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan telah melakukan penanganan perkara karhutla dibeberapa daerah, namun aparat penegak hukum khususnya hakim belum melihat kasus hukum karhutla ini sebagai hal penting dan mendesak.

Hal itu, dikemukakannya, tercermin pada putusan hakim yang umumnya membebaskan terdakwa atau menghukum ringan terdakwa, sehingga praktik penegakan hukum saat ini belum mampu menumbuhkan efek jera bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan.

Sebenarnya, menurut dia, harapan terhadap penegakan hukum muncul sejak koordinasi antar penegak hukum diperkuat pada Desember 2012 dengan ditandai penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) enam pimpinan Kementerian dan Lembaga.

Saat itu, ia mengemukakan, penegakan hukum Karhutla dimulai dengan pendekatan multi rezim hukum termasuk penggunaan kejahatan perusahaan (corporate criminal liability), namun banyak kasus yang dibawa ke pengadilan berakhir dengan putusan yang mengecewakan.

Secara umum, ia berpendapat, tidak sulit disimpulkan penegakan hukum karhutla belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perubahan perilaku terutama korporasi penyebab karhutla.

Sumber penyebab ketidak efektifan tersebut, menurut dia, pertama, karena kualitas dan pemahaman yang masih terbatas para penegak hukum dalam menerapkan pendekatan multi rezim hukum dengan mendayagunakan berbagai peraturan perundang-undanganan yang relevan seperti Undang-Undang (UU) Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU

Selain itu, ia mengemukakan, tindak Pidana Pencucian uang, UU Tindak Pidana Korupsi, UU Pajak, dan sebagainya, termasuk menerapkan corporate criminal liability.

Kedua, menurut dia, koordinasi yang tidak berjalan baik antara penyidik dan penuntut dan PPNS lainnya yang terkait dengan pendektan multi rezim hukum. Ketiga, intervensi penanganan perkara terutama perkara-perkara korporasi besar yang membutuhkan kepemimpinan dan pelaksana yang memiliki integritas kuat.

"Saat ini sepatutnya, ketiga persoalan tersebut harus dapat diatasi oleh Kementerin LH dan Kehutanan yang memegang dua portofolio sekaligus yaitu lingkungan hidup dan kehutanan," catatnya.

Pendapat senada dikemukakan Kepala Sekolah Thamrin School oleh Farhan Helmy. Menurut dia, pemerintah saat ini, sebetulnya telah memiliki modal awal yang baik dalam konteks isu saat kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke provinsi Riau, November 2014.

Ada dua hal yang dihasilkan dari kunjungan Presiden Jokowi, yakni Presiden menginstruksikan untuk memelihara gambut di Kabupaten Meranti tetap dalam keadaan basah, dan sekarang lahan gambut yang akan dijaga untuk tetap basah telah diidentifikasi.

Selain itu, Instruksi Presiden ini harus dituangkan dalam bentuk kebijakan daerah provinsi Riau, dan pada waktu yang tidak terlalu lama, Pemprov Riau menerbitkan Peraturan Gubernur Riau Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Rencana Aksi Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau.

Thamrin School merupakan inisiatif multi-pihak untuk mendorong pemikiran kritis dan progresif tatakelola sumberdaya alam, lingkungan dan perubahan iklim yang adil, berkelanjutan dan berpihak pada kepentingan publik.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2015