Jakarta (ANTARA News) - Kopi terenak di dunia pun mengandung rasa pahit. Hidup juga demikian, setidaknya bagi Jody dan Ben, dua sahabat yang membangun kedai kopi bersama dalam film "Filosofi Kopi."

Jody (Rio Dewanto) dan Ben (Chicco Jerikho), yang sejak kecil bersahabat, sama-sama ingin memajukan kedai Filosofi Kopi milik mereka. Tapi kepribadian yang sangat berbeda membuat mereka sering kali sulit mendapat titik temu.

Saat lilitan utang membayangi bisnis kedai mereka, Jody pusing tujuh keliling mencari cara untuk membebaskan kedai dari utang.

Sementara Ben, peracik kopi yang berjiwa bebas, ingin tetap membuat kopi terenak dari biji-biji terbaik meski harganya selangit.

Saat Jody mengusulkan untuk memasang wi-fi di kedai untuk menarik pengunjung, Ben menolak mentah-mentah karena percaya Filosofi Kopi dapat terus bertahan asal menyajikan kopi-kopi lezat. 

"Kopi yang enak akan selalu mempertemukan penikmatnya," kata Ben. 

Secercah harapan muncul saat seorang pengusaha yang tertarik dengan artikel mengenai Filosofi Kopi datang ke kedai dan memberikan tawaran menggiurkan, yang bisa membebaskan mereka dari utang.

Sang pengusaha menantang mereka menyajikan kopi paling enak. Ben dan Jody menjawabnya dengan racikan Ben's Perfecto, formula kopi yang paling disukai pelanggan mereka. 

Tapi racikan kopi itu ternyata belum sesempurna yang mereka kira.
 
Kegembiraan mereka mengempis ketika El (Julie Estelle), pencicip cita rasa kopi bersertifikat Coffee Quality Institute (Q Grader), mengunjungi kedai dan mengatakan bahwa Ben's Perfecto bukanlah kopi terbaik. 

Menurut El racikan kopi Ben si barista tak seenak secangkir kopi Tiwus buatan seorang petani kopi di Ijen, Jawa Timur.
 
Jody dan Ben jadi panik. Bagaimana mereka akan memenangkan taruhan bila kopi yang telah mereka banggakan ternyata bukanlah yang terbaik? Mengapa kopi yang diracik sederhana --tanpa eksperimen rumit yang dikerjakan Ben berminggu-minggu-- bisa menghasilkan rasa yang lebih menggugah?

Kepanikan itu membawa mereka bertolak ke Ijen untuk bertemu langsung dengan sang peracik kopi Tiwus, Seno beserta istrinya (Slamet Rahardjo dan Jajang J Noer). 

Di sana, mereka tidak hanya menemukan jawaban di balik kenikmatan kopi Tiwus, tetapi juga dorongan untuk berdamai dengan serpihan masa lalu yang pahit. 


Bukan sekadar cerita kopi

"Filosofi Kopi" mungkin bisa membuat penonton ingin menyesap berbagai jenis kopi yang ditampilkan dalam film. Tapi film itu sebenarnya lebih dari sekadar kisah tentang kopi. 

Sutradara Angga Dwimas Sasongko mengatakan "Filosofi Kopi" bercerita tentang hubungan ayah-anak yang dijembatani oleh kopi. 

"Kalau (cerita) aslinya kan tentang kesempurnaan hidup, tetapi terlalu abstrak ya untuk divisualkan. Jadi film ini lebih mengangkat ke hubungan ayah dan anak," kata sutradara peraih Film Terbaik Festival Film Indonesia 2014 lewat "Cahaya Dari Timur" itu. 

Plot yang diangkat Angga memang tidak persis seperti cerita pendek dalam buku kumpulan cerita "Filosofi Kopi" karya Dewi Lestari. Beberapa pengembangan dilakukan pada cerita maupun karakter untuk memenuhi kebutuhan film. 

Lewat "Filosofi Kopi", Angga mengaku ingin melepaskan label sutradara peraih piala Citra yang melekat padanya dari film "Cahaya Dari Timur: Beta Maluku". 

Dia menggarap film yang membutuhkan dana produksi dan promosi Rp10 miliar itu dengan cara yang berbeda 180 derajat dari "Cahaya Dari Timur: Beta Maluku".

Dalam "Cahaya Dari Timur: Beta Maluku", dia berusaha menyajikan rekonstruksi peristiwa di Maluku seobjektif mungkin dengan pergerakan kamera yang lebih stabil. 

Pergerakan kamera di "Filosofi Kopi" terlihat dinamis karena kamera sering bergoyang-goyang. Menurut Angga, pergerakan kamera itu merupakan simbol dari sudut pandangnya yang subjektif.
 
"Karena saya ingin Filosofi Kopi dilihat dari mata saya yang selalu bergerak," imbuh dia.
 
Angga mempercayakan pemilihan musisi untuk mengisi lagu latar film kepada Glenn Fredly, yang didapuk menjadi produser musik.  

Karya Maliq & d'Essentials, Gilbert Pohan, Sidepony, Dewi Lestari, SVARNA serta kolaborasi Glenn Fredly, Monita Tahalea dan Is "Payung Teduh" melengkapi film ini.


Lintas dimensi

"Filosofi Kopi" disebut sebagai user generated movie pertama yang menghimpun konsep dari masyarakat sebagai produser digital melalui aplikasi yang dapat diunduh pengguna Android dan iOs. 

Meski tidak bisa memuaskan selera semua orang, setidaknya "Filosofi Kopi" memberi ruang berpendapat bagi penggemar buku untuk ikut berkolaborasi. 

Pembaca buku dan penonton film pun bisa ikut merasakan suasana kedai Filosofi Kopi di kompleks Blok M Square, Melawai, Jakarta, selama masa promosi. 

Tidak hanya itu, para musisi yang mengisi lagu latar film juga akan tampil dalam Konser Filosofi Kopi pada 13 April di Rolling Stone Cafe Jakarta. 

Para penonton "Filosofi Kopi" dapat masuk ke konser dan mendapat secangkir kopi di kedai secara cuma-cuma asalkan menunjukkan potongan tiket film tersebut.

Angga mengatakan terobosan itu merupakan upayanya untuk mengapresiasi penonton Tanah Air. 


Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015