Jakarta (ANTARA News) - Diawali dan dibuka dua kata berulang "kopi kopi", di bawah naungan satu tenda yang menawarkan sensasi serbuk-serbuk kopi seantero, tersebutlah Ben yang empunya cerita.

Dia tidak ingin mendominasi, dia hanya ingin mengulang-ulang fatsun bahwa habis menyeruput terbitlah berbahasa, layaknya sang suami tercinta mengucapkan "aku mengasihi dirimu sampai ajal menjemput" kepada sang istri di setiap awal hari.

Sang aku, sebagai pembuka cerpen bertajuk Filosofi Kopi, bukan lagi Dewi Lestari yang akrab disapa Dee, melainkan dia yang coba-coba menawarkan sirkus kata-kata agar wacana membentang untuk melahirkan manusia baru. Manusia yang berumah dan berdomisili dalam kata-kata.

Dia bukan manusia Superman hasil rekaan filosof Nietzsche, melainkan dia yang sedang berbicara kepada kita yang berakrab-akrab bermodal racikan kopi sejagat, dari cafe latte, cappucino, espresso, russian coffee, sampai macchiato.

Kita yang tidak jarang mendaku dengan menegaskan bahwa kedai kopi adalah aku yang menguasai dunia menguasai jagat bermodal kata-kata semata.

Seruput demi seruput, butir demi butir kopi bergulir dan bergulung bersama terpaan air seduhan panas agar aroma bergulir menggoda mereka yang tidak ingin tersedak oleh pembuka kisah bahwa "setahun lalu aku resmi menjadi partner kerjanya...antarsahabat bermodal nekat saling mengikat spekulasi...." di saham kepercayaan di lantai bursa yang mewujud dalam gelora uang dan hebat administrasi.

Cerpen Filosofi Kopi yang terlahir pada 1996 bukan kuburan dari Ben dan Jody yang mengangkangi kami yang berbicara, dan kalian pembaca silakan menyimak.

Tidak ada dominasi, apalagi dikte mendikte. Kutip saja, bahwa Dewi Lestari yang kerapkali hadir dengan nama pena Dee, sebelumnya dikenal dalam novel serial berjudul Supernova.

Supernova? Begitu njlimet, sampai-sampai seorang sohib berujar, "dia ingin berkisah tentang apa?" Begitulah, setelah sepuluh tahun, dia menggenapi penggembalaan kata-kata dengan membuat jarak dari dirinya sendiri, bahkan merumuskan dirinya sendiri di depan sesuatu yang bukan dirinya, karena Dee hanya ingin berbicara dan berkisah bahwa "...kita memang cuma tukang gombal" (halaman 28).

Gombal sebagai kata yang dipungut dari bahasa Jawa yang berarti kain lap, ingin membersihkan yang kotor, menghapus yang cemar.

Pada halaman yang sama, dari kumpulan cerita dan prosa satu dekade, buku yang yang kali pertama terbit dicetak pada 2006, kemudian pada 2009 mengalami cetak kesepuluh, menohok dengan menyimpulkan hal yang mewah bahwa kesempurnaan itu memang palsu.

Kita memang cuma tukang gombal, yang kerapkali bergelora memanen tanpa mau menanam, bersyahwat di atas mimbar agung tanpa mau membaca dan mengeja alfabet dari mereka yang lebih dulu berumah di atas angin dengan tiada henti takzim bersama ayat-ayat suci Sang Ilahi.

Cepat-cepat penulis mengajak pembaca untuk bersama-sama merayakan suguhan kesempurnaan dalam cinta bernama kepulan uap kopi Ben Perfecto, yang terlahir dari racikan brilyan serbuk-serbuk kopi yang tersaji setiap harinya.

Cinta akan kopi menyadarkan kita sebagai penggembala kata-kata di stadion yang bergelora di bawah naungan narasi besar bernama realitas yang diucapkan dan dirayakan setiap hari.

Pada halaman yang sama, Dee menghantar penutup liturgi kata-kata dengan menulis bahwa uang puluhan juta sekalipun tidak akan membeli semua yang sudah kita lewati.

Penulis tidak sekedar menyodor-nyodorkan kopula "adalah", misalnya manusia pada dasarnya adalah serigala. Ia mencetuskan kredo bahwa segala pernyataan yang kita ucapkan kita tuliskan, semata merujuk kepada tiga huruf saja yakni "apa".

Apa yang bergulir bersama siapa, dengan trengginas hendak disampaikan oleh Dee. Diawal kisah, Ben dikenal sebagai salah satu peramu kopi atau barista jempolan di tengah hiruk-pikuk Metropolitan. Mereka yang menyukai dan menggila setelah menyeruput kopi di Kedai Koffie Ben and Jody kemudian mengamini dengan berujar, benar-benar mengagumi, karena mereka mengerti (halaman 2 dan 3).

Pesta minum kopi, bersama Ben, berawal dari ingin mencoba berakhir dengan mencintai. Berawal dari tidak sekedar meramu, mengecap rasa, berakhir dengan merenungkan kopi.

Itulah filosofi, yang meramu fakta, mengecap rasa kemudian merenung untuk menggonggong segala yang menggelisahkan, setelah berziarah di dunia bersama sesama.

Filosofi kopi, menemukan diri Anda di sini, begitulah penulis merangkum sepuluh halaman pertama bukunya. Sampai tiba seorang pengunjung berusia 30 tahunan-an yang ingin menemukan gambaran tentang diri sendiri yang berkisah mengenai onggokan sukses bisnis di bawah naungan matahari puncak karier.

Setelah mendengar dan mencermati cerita sukses, kepala Ben pening, entah karena jotosan kafein atau justru cerita sukses yang memuakkan itu.

Penggal demi penggal momen bergulir dan bergelimpangan sampai suata ketika kafe kedatangan pria yang menyeruput, menahan napas, kemudian mengembuskannya seraya lega berujar, "Hidup ini sempurna".

Lha, "Selamat. Kopi ini perfect. Sempurna," kata pria itu seraya mengeluarkan selembar cek. Dan Ben bereaksi untuk mengulang rumus kata-kata dalam liturgi nyeruput kopi dengan memberikan kartu Filosofi Kopi yang bertuliskan "Kopi yang Anda minum hari ini adalah Bens Perfecto. Artinya, sukses adalah wujud kesempurnaan hidup" (halaman 13).

Berbekal kartu bermerk "adalah" itulah, Dee mengajak pembaca berkenalan seraya berkelana bersama dengan seorang bapak yang mengulik rasa ingin tahu Ben untuk mencari guna menemukan Kopi Tiwus yang ndeso.

Tergerak oleh kopi tiwus itulah, Ben ditemani Jody blusukan ke desa berkelana mencari Kopi Tiwus. Sebelum berangkat ke desa, keduanya bersimpang kata sepakat agar Ben tidak lebay. "Kali ini ketidakpahamanku meledak. Kenapa kamu harus membuat urusan kopi ini jadi kompleks? Romantis overdosis? Okelah, kamu cinta kopi... Pakai rasio...." (halaman 24).

Pencarian kedua peziarah kopi itu hendak mengulang refrain dari setiap makna bahasa yang menyempit atau meluas.

Menyempit, artinya menemukan siapa sebenarnya barista Kopi Tiwus. Meluas, artinya menghirup tegukan tiwus oleh-oleh tidak gratis dari sang barista asal desa. (halaman 26). Teguk demi teguk kopi tiwus akhirnya membuahkan senyum melebar, sampai kepada ampas terakhir dari cangkirku yang dirasa sebagai perasaan kehilangan.

Dan aku kehilangan sahabatku, begitu kelana Ben dan Jody yang sama-sama berkongsi bahwa filosofi kopi sejatinya memahami untuk menggunakan. Setelah dwitunggal itu terbakar oleh Bens Perfecto, kini keduanya mengikat persahabatan dengan mengandalkan magnet dari saling memberi saling mengakui untuk sedikit mencicipi kopi buatan sohib perjalanan.

Dihela oleh rasio yang mencari jejak-jejak burung kunthul di lautan, akhirnya Ben setengah menghardik, sementara sang aku tidak merespon, hanya memberi kemudian menyodorkan sebuah kartu bertuliskan, "Kopi yang anda minum hari ini: Kopi Tiwus. Artinya, walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya" (halaman 27).

Dan Dee berbahasa Jawa ria tanpa kehilangan cengkeram langgam untuk melukiskan bahwa "tadi ada yang membeli kopi tiwus, aku diberi ini" (halaman 29). Ujung-ujungnya, "Ya wis, Mas, disempen wae. Dienggo kenangan-kenangan to" (ya sudah, disimpan saja. Untuk kenang-kenangan kan).

Lha, untuk kenang-kenangan saja, karena Dee mengajak pembaca untuk melihat dan mendengarkan segala tulisan dari narasi besar bahwa kita hanyalah sekedar penggombal-penggombal yang tiada henti manggut-manggut kemudian menilep uang puluhan juta agar mendapat suguhan cinta.

Lamaaa, semakin lamaaa, kita menggombal, karena Filosofi Kopi dengan huruf besar lama terdiam bagai bubuk kopi tanpa riak air.
(A024)

Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2015