Kalau delay-nya lebih dari 12 jam maka otot jantung yang tersumbat akan rusak, pelayanan standar (untuk penderita serangan jantung dan penyakit jantung) menjadi percuma,"
Jakarta (ANTARA News) - Pemangku otoritas harus bisa mempercepat penanganan serangan jantung untuk menghindari kegagalan fungsi jantung dan menyelamatkan penderita, menurut
Ketua kolegium Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah, Dr. Sunarya Soerinata, SpJP, FIHA.

"Kalau delay-nya lebih dari 12 jam maka otot jantung yang tersumbat akan rusak, pelayanan standar (untuk penderita serangan jantung dan penyakit jantung) menjadi percuma," ujar Sunarya di Jakarta, Jumat.

Dia mengatakan, serangan jantung terjadi akibat adanya gumpalan darah yang menyumbat pembuluh darah jantung. Akibatnya, fungsi jantung menjadi gagal dan berpotensi fatal bagi penderita.

Menurut Sunarya, percepatan penanganan serangan jantung baik itu obat-obatan maupun intervensi jantung membutuhkan koordinasi berbagai pusat pelayanan kesehatan sehingga membentuk jejaring pelayanan serangan jantung.

Dengan kata lain, berbagai pusat pelayanan mulai dari klinik swasta, puskesmas hingga rumah sakit harus bekerjasama melakukan koordinasi pelayanan penyakit jantung.

"Yang menjadi masalah di Indonesia, kita terpaku soal rumah sakit yang terbagi atas macam-macam tipe, melupakan rujukan kronik, rujukan yang sifatnya emergency. Contoh paling klasik kasus serangan jantung," kata Sunarya.

"Sepertiga penderita serangan jantung meninggal sebelum sampai rumah sakit," tambah dia.

Di samping itu, masyarakat juga diharapkan dapat mengenali gejala serangan jantung dan kegawatan jantung.

"Harus ada community awareness soal serangan jantung," ungkap dia.

Kegawatan ini lanjut Surnarya mencakup nyeri dada, jantung berdebar-debar, sesak nafas, ganguan kesadaran dan gangguan irama jantung.

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015