Para IDP itu menyelamatkan diri dan mencari tempat-tempat perlindungan akibat konflik yang terjadi pada tahun 2003 dan bencana."
Khartoum (ANTARA News) - Ribuan pengungsi internal (IDP) di Darfur, Sudan, masih tinggal di kamp-kamp dengan kondisi yang menyedihkan. Mereka pada dasarnya ingin kembali ke kampung halaman masing-masing untuk memulai hidup baru.

Lima wartawan Indonesia, termasuk LKBN Antara, baru-baru ini mengunjungi kamp IDP Abou Shok di kota Al Fasher, Darfur, lebih satu jam penerbangan atau 16 jam dengan berkendaraan mobil atau bus dari kota Khartoum, ibu kota Sudan.

Sebelum mengunjungi dan menyaksikan dari dekat kamp tersebut, mereka memperoleh keterangan dari Ibrahim Ahmed, pejabat pemerintah yang mengurusi 280.000 orang di lima kamp seputar para pengungsi, keadaan kamp-kamp, aktivitas pemerintah daerah, dan lembaga-lembaga internasional, termasuk UNAMID, badan PBB yang beroperasi di sana, dan lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan.

"Para IDP itu menyelamatkan diri dan mencari tempat-tempat perlindungan akibat konflik yang terjadi pada tahun 2003 dan bencana," kata Ibrahim.

Ia menegaskan, "Konflik-konflik terjadi karena perebutan sumber daya di kawasan-kawasan terpencil."

Ibrahim mengatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyediakan berbagai fasilitas di kamp-kamp pengungsi dan keamanan dan juga melakukan rekonsiliasi di antara kelompok-kelompok, khususnya suku-suku yang berperang.

Dalam perjalanan menuju Kamp IDP Abou Shok selama sekitar 15 menit dari tempat penginapan gubernuran, rombongan wartawan Indonesia dalam mobil yang dikawal sedikitnya empat mobil. Satu mobil bak terbuka dengan tiga personel bersenjata berada di bagian depan dan satu mobil lagi dengan tiga personel di bagian belakang menyertai konvoi.

Tampak di tepi-tepi jalan yang dilintasi rombongan, sejumlah anak dan orang dewasa berada di atas kendaraan yang ditarik keledai membawa air dalam drum-drum, gedung-gedung pemerintah yang modern dan rumah-rumah penduduk yang terbuat dari lalang (alang-alang) dan batu-batu bata. Sejumlah wanita membawa kayu bakar di atas kepala mereka.

Kemudian, mereka bertemu dengan dengan sejumlah pengurus kamp dengan manajer Ibrahim El-Khalil. Hadir dalam pertemuan singkat tersebut, antara lain ketua pengungsi Ahmed Atime Damelbitt dan wakil dari kaum wanita Hama Hossain Abdullah.

"Kami telah berada di kamp Abou Shok selama 11 tahun sejak 2004 dan ingin kembali pulang," kata Ahmed, yang berprofesi sebagai guru.

Kamp itu menampung sekitar 74.000 jiwa, sebagian besar anak-anak dan kaum wanita dari sedikitnya 13 kelompok suku. Pengelola menyediakan fasilitas-fasilitas untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti 18 sekolah dasar, termasuk madrasah, klinik beserta perawat dan dokternya, air bersih, dan pasar.

"Kami tinggal di tempat yang sangat sederhana, sangat jauh berbeda dari rumah-rumah kami yang luas di kampung halaman," kata Hama.

Ia mengaku beruntung anak-anaknya masih bisa bersekolah dan belajar di madrasah walaupun hidup dalam serba keterbatasan.

Di bawah pengawalan, para wartawan menyaksikan para warga tampak melakukan aktivitas jual beli di pasar yang relatif ramai, menyediakan berbagai kebutuhan pokok, dan lain-lain. Di antara mereka ada yang membuat dan mengeringkan batu bata. Ada juga yang menjual ternak.


Personel Polri-TNI

Para wartawan Indonesia tak berkesempatan untuk bertemu personel Polri dari Formed Police Unit (FPU) sebagai bagian dari pasukan pemelihara perdamaian di bawah bendera PBB. Satuan tugas ini tergabung dalam UNAMID (United Nations African Union Hybrid Mission in Darfur).

Formed Police Unit adalah sebuah satuan tugas personel polisi berseragam yang memiliki keterampilan khusus kepolisian, seperti dalam pengendalian massa, menggunakan persenjataan dengan dibekali teknik dan taktik pertempuran kota, pembebasan sandera, serta mempu mengatasi gangguan keamanan bersenjata dalam tingkat intensitas risiko yang tinggi, dan mampu bergerak dengan cepat di dalam lingkup area penugasan misi perdamaian PBB.

Konflik di Darfur sendiri meletus pada tahun 2003, yang menyebabkan 2,7 juta manusia terpaksa mengungsi di kam-kamp, dan sekitar 300.000 orang terbunuh akibat konflik berkepanjangan yang melibatkan faksi-faksi pemberontak yang melawan pemerintah Sudan yang jugai menggunakan milisi bayaran dari suku keturunan Arab yang dikenal sebagai "Janjaweed" untuk menghadapi pemberontak yang berasal dari suku asli Afrika itu.

Sejak ditugaskan pada tanggal 12 Oktober 2008, telah relatif cukup banyak tugas-tugas yang dilaksanakan, seperti pengawalan Police Adviser Unamid untuk melaksanakan Community Policing di tiga kamp IDP besar di El Fasher, yaitu Al Salaam, Abou Shok, dan Zam Zam, serta patroli malam yang dilakukan gabungan dengan unsur militer dari negara-negara lain.

Selain satuan Polri, Indonesia juga beberapa kali mengerahkan prajurit TNI yang tergabung dalam UNAMID untuk menjalankan tugas misi perdamaian di wilayah konflik, Darfur.

Sebelum kembali ke Khartoum, wartawan Indonesia bertemu dengan Gubernur Darfur Utara Osman Mohamed Yousif Kibir yang beberapa hari sebelumnya menerima kunjungan Wakil Presiden Sudan Hassabo Mohamed Abdul-Rahman dan delegasi yang menyertainya.

Kunjungan tersebut bertujuan menyelesaikan perselisihan yang pecah antara suku Barti dan suku Al-Zayadia.

"Kami tak mengatakan tidak ada masalah di sini, tetapi kami dapat katakan bahwa kehidupan sudah membaik," kata Gubernur Osman.

Ia mengatakan bahwa jumlah anak-anak di kota dan desa yang bersekolah meningkat karena situasinya relatif sangat baik.

"Pemerintah memerangi pemberontak dan penjahat dan tidak ada lagi desa yang dikuasai pemberontak," katanya.

"Anda saat ini bisa ke Al Fashir dari Khartoum naik mobil dengan aman karena keamanan terjamin dan jalan-jalan sudah dibangun untuk menghubungkan kedua kota tersebut," kata Osman.

Ia menegaskan, "Situasi di Darfur saat ini berbeda dari apa yang diberitakan berlebihan oleh media Barat dan dari apa yang Anda dengar."

Oleh Mohammad Anthoni
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015