Jakarta  (ANTARA News) -  Lesser Sunda merupakan perairan dengan luas mencapai 35,802,039 hektare (ha) dan 10,886 kilometer (km) garis pantai yang membentang dari wilayah perairan Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, hingga Timor Leste menjadi salah satu ekoregion kaya di wilayah timur Indonesia.

Beberapa lokasi perairan di wilayah ekoregion ini seperti di bagian selatan Pulau Lombok, bagian utara Pulau Bali, sekeliling Pulau Nusa Penida dan Nusa Lembongan menjadi koridor paus, lumba-lumba, hingga mola-mola (Sun fish).

Perairan Laut Sawu yang menjadi jantung dari bentang laut Lesser Sunda sekaligus bagian selatan dari kawasan Segitiga Terumbu Karang dunia yang menjadi habitat kritis bagi mamalia laut paus biru (Balaenoptera musculus) yang berstatus Terancam Punah (Endangered) untuk kawin dan melahirkan anak.

Antara bulan Desember hingga Maret setiap tahunnya sekitar 14 jenis paus termasuk paus biru dan paus sperma (Physeter macrocephalus) akan bermigrasi dari perairan dingin di belahan bumi utara ke perairan laut hangat di belahan bumi selatan melalui perairan Laut Sawu.

Perairan Laut Sawu seluas 3,335 juta hektare (ha) yang kini berstatus Taman Nasional Perairan (TNP) juga menjadi habitat penting bagi dugong (Dugong dugon) dan penyu.

Perairan ini sangat kaya dengan sumber daya ikan mulai dari ikan karang yang mencapai 336 jenis, ikan demersal, cumi-cumi, udang, ikan pelagis kecil hingga pelagis besar seperti tuna, cakalang, paruh panjang, tongkol, dan tengiri.

Pet-Soede (2002) menyebut perairan ini memiliki 31 spesies mamalia laut terdiri atas 18 spesies paus, 12 spesies lumba-lumba, dan satu spesies dugong. Selain paus biru dan paus sperma beberapa mamalia laut lainnya yakni Pygmy killerwhale, Short-finned pillotwhale, Risso's dolphin, Pantropical spotted dolphin, Spinner dolphin, Rough-toothed dolphin, dan Bottlenose dolphin bermigrasi di perairan ini.

Pantai berpasir putih seperti di Pulau Semau, Poto, dan Tuakau di Kabupaten Kupang, Pulau Ndoo, Pulau Nuse, Pulau Ndana (Rote Ndao), pesisir Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sabu Raijua, dan Maelah diidentifikasi menjadi tempat bertelur penyu.

Beberapa jenis penyu yang diketahui ada di perairan Laut Sawu antara lain penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu pipih (Natator depressus), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coracea), dan penyu tempayan (Caretta caretta).

Keistimewaan yang dimiliki perairan tercipta dari kombinasi arus kuat dari arus lintas Indonesia (Arlindo) dan tebing laut yang curam yang mempertemukan arus air dingin dari utara dan hangat dari selatan menjadikan perairan ini tangguh menghadapi ancaman peningkatan suhu gobal akibat perubahan iklim.

Kemampuan perairan ini untuk pulih saat menghadapi ancaman kerusakan akibat peningkatan suhu air laut cukup tinggi, sehingga menurut Conservation Science Specialist TNC Indonesia Marine Program, Purwanto, perairan seperti ini sangat tepat dikembangkan menjadi sebuah Kawasan Konservasi Laut (KKL).

Purwanto mengatakan daerah tropis jelas memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi termasuk di wilayah perairan.

Dengan suhu yang relatif hangat antara 25 hingga 29 derajat Celsius serta arus laut yang kompleks yang menghasilkan nutrisi tinggi bagi biota laut membuat perairan Lesser Sunda kaya sumber daya ikan.

Namun, menurut dia, tantangan yang harus dihadapi juga cukup pelik karena usaha manusia untuk pemenuhan kebutuhan pangan yang dapat mengancam kepunahan jenis dan spesies biota laut di perairan tersebut.

"Tantangannya, karena kebutuhan pangan tinggi maka ancaman kepunahan juga tinggi".

Untuk saat ini, ia mengatakan memang belum ada data lengkap yang dapat menyebutkan telah terjadi penangkapan ikan berlebih di perairan Indonesia, termasuk di Lesser Sunda.

Namun, krisis perikanan tangkap global sedang terjadi, di mana terjadi penurunan suplai ikan per kapita, terjadi stagnasi jumlah tangkapan, dan mulai menghilangnya spesies tertentu secara sekuensial dari tangkapan.

Saat ini, lanjut Purwanto, yang berperan dalam melakukan penangkapan ikan secara berlebih di Indonesia adalah industri perikanan skala besar dan nelayan skala kecil, baik yang berbendera asing ataupun lokal.

Metode penangkapan juga dilakukan dari yang legal maupun secara ilegal yang bersifat destruktif seperti penggunaan bom dan racun.

Selain karena pertambahan penduduk yang memicu peningkatan kebutuhan pangan, menurut dia, akses sumber daya yang terbuka dan gagalnya sistem manajemen perikanan konvensional yang lebih mengutamakan pembatasan kuota tangkap, izin tangkap, dan alat tangkap menjadi penyebab terjadinya penangkapan ikan berlebih.

"Kesalahan terbesar metode perikanan selama ini karena beranggapan statistik hasil tangkap menunjukkan status stok ikan," ujar dia.

Isu lain yang menjadi ancaman bagi perairan adalah pembangunan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi secara tidak berkelanjutan.

Conservation Project Manager TNC Indonesia Marine Program Mirza Pedju mengatakan peningkatan aktivitas transportasi laut yang dapat menjadi polusi suara di dalam laut juga menjadi ancaman bagi mamalia laut.

Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Ditjen Kelautan, Pesisir, Pulau-Pulau Kecil (KP3K) KKP Agus Dermawan mengatakan salah satu penyebab terdamparnya paus karena adanya gangguan polusi suara di dalam laut seperti peledakan bahan dinamit, pelayaran kapal selam dengan menggunakan sonar dan navigasi sehingga menyebabkan disorientasi pada hewan mamalia ini.

Aktivitas perusahaan minyak dan gas di perairan Lesser Sunda juga dapat memicu polusi suara dan mengganggu biota laut harus diperhatikan.

Enam tahun setelah enam pimpinan negara CT-6 mendeklarasikan penyelamatan Segitiga Terumbu Karang dunia di Manado, menurut Agus, sudah ada 36 Kawasan Konservasi Laut (KKL) di ekoregion Lesser Sunda, dengan  luas area 4.826.569 sekitar 4.826.569  ha.

Untuk kawasan Bali terdapat lima KKL yang berada di Pemuteran, Bondalem, Penuktukan, Nusa Penida, dan Balai Taman Nasional Bali Barat dengan total luas area mencapai 58.006,94 ha.

Sedangkan di NTB terdapat 16 KKL dengan total luas area mencapai 200.350,80 ha, dan di NTT terdapat 15 KKL dengan total luas area mencapai 4.568.2124.568.212,05 ha.

Jejaring konservasi dalam satu ekoregion, menurut Mirza, menjadi strategi untuk menguatkan ekosistem perairan terhadap perubahan iklim dan mengurangi tekanan yang diakibatkan oleh ancaman manusia.

"TNC juga telah mengusulkan beberapa daerah menjadi KKL. Namun beberapa masih perlu penelitian dan kajian lapangan untuk dapat menaikkan status kawasan tersebut sebagai KKL".

Konservasi 30 persen meliputi habitat laut dangkal. Yang kurang di laut dalam atau di ekosistem pelagik.

"Kita belum punya ekosistem perlindungannya, padahal perlindungan untuk laut dalam juga diperlukan mengingat terdapat sea moun yang juga kaya," ujar dia.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa kerja sama sektoral dengan berbagai pemangku kepentingan termasuk dengan pemda dan sektor minyak dan gas di Lesser Sunda harus dilakukan guna memastikan unsur keberlanjutan dalam setiap aktivitas yang berkaitan dengan perairan tetap dapat dilakukan.

Berdasarkan kajian TNC, menurut Lesser Sunda Portofolio Manager TNC Glaudy Perdanahardja, ada 100 area di ekoregion tersebut yang potensial untuk dijadikan jejaring KKL, dengan total luas kawasan mencapai lebih kurang 9.864.045 ha.

"Luasannya memang mungkin bisa berbeda untuk saat ini karena TNC mulai melakukan kajian sejak 2012. Jadi kemungkinan luasan wilayah berubah bisa terjadi karena luasan tata ruang satu daerah mungkin juga ada yang berubah," ujar dia.

Sesuai dengan komitmen Indonesia yang menargetkan penetapan 20 juta ha KKL di 2020 sebagai upaya penyelamatan Segitiga Terumbu Karang, perikanan, dan keamanan pangan dunia di masa depan maka penguatan ekosistem perairan dengan "merapatkan" jejaring KKL di setiap ekoregion termasuk di Lesser Sunda, wilayah perairan kaya yang menjadi pemasok terbesar tuna ke berbagai negara di dunia.

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015