Masih ada waktu bagi CDC untuk memperbaiki bagian utama -membuatnya menjadi sebuah demokrasi yang bisa diterima oleh semua pihak."
Bangkok (ANTARA News) - Jenderal-jenderal yang merebut kekuasaan melalui kudeta tahun lalu di Thailand akan mendapat kekebalan dari penuntutan dan sosok-sosok yang tidak terpilih dibolehkan menjadi perdana menteri di bawah rancangan awal undang-undang dasar baru.

Rancangan yang dibaca Reuters, pada Jumat itu akan diteliti oleh para pemangku kepentingan politik dalam lima pekan mendatang. Jika disetujui, rancangan itu akan menghadapi sebuah komite yang disebut "orang-orang bijak", yang mengarahkan reformasi-reformasi yang mendapat persetujuan junta. Persetujuan juga akan mengarah pada pengesahan sistem pemilihan, yang dicemooh oleh para pengkritik sebagai langkah mundur dan kemungkinan akan menciptakan pemerintahan koalisi yang lemah.

Piagam Thailand yang ke-20 itu --sejak 1932-- disusun oleh 36 anggota Komite Perancang Undang-Undang Dasar (UUD), yang ditunjuk oleh rezim pengkudeta untuk mencegah timbulnya "kediktatoran parlemen". UUD itu hanya akan memungkinkan 77 dari 200 orang yang bisa menjadi senator melalui pemilihan, sisanya melalui penunjukan.

Pengesahan undang-undang masih jauh dari realisasi dan umpan balik masih harus ditunggu dari pihak kabinet, militer serta Dewan Reformasi Nasional sebelum rancangan dikembalikan ke Komite Perancang Undang-Undang Dasar (CDC) pada 25 Mei dengan kemungkinan munculnya usul-usul.

Banyak proposal yang diajukan komite tersebut telah diberitakan oleh media Thailand sejak para perancang UU mulai bekerja pada Januari.

Beberapa proposal telah mendapatkan kritik tajam dari para pegiat dan partai-partai politik lawan, yang tidak menutup kemungkinan akan melakukan boikot.

"Sekarang saatnya untuk mengatakan apakah kita akan menjalankan pemilihan," kata Samart Kaewmeechai, seorang anggota Partai Puea Thai dan mantan anggota parlemen, kepada Reuters.

"Masih ada waktu bagi CDC untuk memperbaiki bagian utama -membuatnya menjadi sebuah demokrasi yang bisa diterima oleh semua pihak."

Sebuah pasal yang menjadi perdebatan adalah soal pengampunan bagi para pelaku kudeta pada Mei lalu. Rancangan serupa, yang diajukan pada 2013 oleh Puea Thai --yang saat itu menjadi partai penguasa-- juga menginginkan pengampunan diberikan kepada sebagian besar para pelaku pelanggaran-pelanggaran terkait politik setelah pemberontakan 2006. Pemberontakan itu memicu terjadinya unjuk rasa massal selama berbulan-bulan dan berujung pada pengambilalihan kekuasaan oleh militer.

Masalah lain yang menjadi perdebatan adalah pasal yang membolehkan seseorang tak terpilih melalui kotak pemungutan suara untuk menjadi perdana menteri, dengan syarat bahwa sosok yang bersangkutan mendapat dukungan dari dua-pertiga anggota dewan perwakilan rakyat.

Sejumlah pengulas meyakini bahwa pasal itu dirancang untuk memungkinkan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha tetap memegang kekuasaan setelah kemungkinan berlangsungnya pemilihan pada 2016.

Prayuth, jenderal yang memimpin kudeta, pada Jumat menegaskan bahwa ia tidak ingin mempertahankan kekuasaan.

(Uu.T008)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015