Gunung tidak bisa disuap."
Magelang (ANTARA News) - Letusan dahsyat Gunung Tambora di Pulau Sumbawa di Provinsi Nusa Tenggara Barat pada 10 April 1815 tercatat dalam sejarah dunia mengakibatkan perubahan kehidupan masyarakat secara global.

Begitu pula peringatan dua abad letusan gunung itu pada 2015, memantik seniman petani Komunitas Lima Gunung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah menyodorkan karya pementasan kontemporer bersumber wayang berlakon Dewa Ruci, menjadi kisah yang tak lagi berpakem Dewa Ruci sebagai haknya Bratasena.

Puluhan seniman petani yang tinggal di kawasan dikelilingi Gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh itu, berkesempatan mementaskan karya yang kemudian mereka beri judul "Wangsit Tambora", dalam rangkaian peringatan 200 tahun letusan Gunung Tambora di halaman Bentara Budaya Jakarta, Kamis (16/4) malam.

Hadir pada kesempatan peringatan dengan tema "Kuldesak Tambora" itu, antara lain Gubernur Nusa Tenggara Barat Muhammad Zainul Majdi, pakar kegunungapian yang juga Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Surono, Direktur Eksekutif Bentara Budaya Jakarta Hariadi Saptono, budayawan yang juga Presiden Komunitas Lima Gunung Sutanto Mendut, pengajar Institut Kesenian Jakarta Johan Marjono, pelukis F.X. Harsono, dan budayawan Romo Mudji Sutrisno.

Acara juga ditandai dengan pembacaan naskah kuno tentang letusan Gunung Tambora oleh filolog yang juga keturunan Sultan Bima,Siti Maryam, dengan iringan situ gendang besar Sumbawa.

Buku Seri Ekspedisi Cincin Api menyebut suara letusan berskala tujuh Volcano Eksplosivity Index Tambora pada 10-11 April 1815 terdengar hingga Bangka dan Bengkulu di Pulau Sumatera, gempa terasa hingga Surabaya, Madura, dan Banyuwangi, sedangkan tiga hari Madura tertutup abu vulkanik.

Aliran material vulkanik Tambora mencapai 100 kilometer dengan kolom letusan mencapai ketinggian 43 kilometer. Sebelum letusan pada April 1815, tinggi Tambora 4.200 meter dari permukaan air laut, sedangkan setelah peristiwa tersebut, tinggal 2.730 mdpl dengan kaldera berdiameterdelapan meter dan tinggi kawah 1.300 mdpl.

Sebanyak tiga kerajaan,yakni Tambora, Pekat, dan Sanggra luluh lantak. Dampak letusan juga membuat abu vulkanik menyelimuti Eropa selama setahun berikutnya, kolera di Rusia, dan banjir di India, Pakistan, serta Bangladesh. Di Eropa musim panas menghilang, terjadi gagal panen, dan kematian, serta melahirkan Frankenstein, novel horor ilmiah tentang penciptaan manusia, yang terbit pertama pada Tahun Baru 1818.

Letusan Tambora ditulis dalam buku tersebut, bagaikan malapetaka menerpa Kota Pompeii dan Herculaneum (Romawi) yang tersapu Gunung Vesuvius pada 24 Agustus 79.

Wayang Gunung

Wayang kontemporer yang mereka namai "Wayang Gunung Kulit Wong Urip" berlakon "Wangsit Tambora" dengan dalang muda Sih Agung Prasetyo itu, dimulai dari performa ritual para pemain, menggambarkan letusan dahsyat Gunung Tambora yang mengakibatkan korban berjatuhan.

Panggung pementasan dipasang berbagai instalasi tentang aneka satwa dan dua perahu dari anyaman bambu, penanda kehidupan di alam gunung dan lautan. Di bagian langit-langit panggung berupa instalasi dedaunan bambu.

Tabuhan gamelan yang terdengar sakral mengiring sejumlah pemain masuk panggung, membawa kemenyan dan kembang. Mereka duduk bersila di antara para korban letusan dan melakukan ritual doa, disusul penyair muda Sekar Atika yang pada 2011 kampung halamannya di tepi aliran Kali Putih diterjang banjir lahar hujan dari Gunung Merapi pascaletusan 2010, membacakan puisinya.

"Tambora dua abad silam. Menancapkan lidi jawara. Yang menjelma menjadi dewa. Merajai kehidupan. Air, angin, api, kayu, batu, dan tanah. Menjadi peradaban dan kebudayaan. Bersama matahari dan galaksi menjadi semesta ilmu pengetahuan. Dan sumarah keilahian. Tersungkur di kaki Tambora. Diam...," begitu bagian dari puisi berjudul "Wangsit Tambora" itu.

Sejumlah tarian kontemporer dusun karya Komunitas Lima Gunung dipentaskan di antara penceritaan adegan lakon wayang tersebut yang diiringi tabuhan gamelan dengan pengendang Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto.

Beberapa suguhan tarian menyemarakkan pementasan wayang gunung, antara lain Embleg (Gunung Sumbing), Topeng Kayu, Kipas Mega, Geculan Bocah, Soreng Truntung (Merbabu), Perahu Lumping (Andong). Selain itu, melalui gerak performa dikisahkan tentang samudera, tempat para wayang menemukan wangsit Tambora dalam wujud pusaka bernama Dewa Ruci.

Dalam dialog adegan pertama antara Durna (Taufik) dan Bratasena (Hari), dalang Sih Agung mengisahkan dengan bahasa Jawa bercampur bahasa Indonesia, antara lain tentang letusan Gunung Tambora, kehidupan manusia di gunung-gunung berapi, serta perintah Guru Durna kepada muridnya itu, untuk mencari kesejatian hidup yang berupa wangsit Tambora.

"Supaya bisa hidup berdampingan dengan Negeri Cincin Api, masuklah ke hutan, bila perlu ke laut, untuk mendapatkan wangsit Tambora," kata Durna kepada Bratasena seperti diceritakan oleh dalang Sih Agung dengan sejumlah selipan kalimat humornya yang membuat penonton di Bentara Budaya Jakarta malam itu, tertawa.

Dikisahkan pula tentang Kunti (Siti) merestui anaknya itu untuk melakukan perjalanan guna mencari wangsit Tambora. Kakak pertama dari keluarga Pandawa, Puntadewa (Cipto), juga mendapat restu untuk mengiring adiknya dalam pencarian kesejatian hidup dalam wujud Dewa Ruci (Pangadi), sebagai pusaka yang membawa ketenteraman, kemakmuran, dan kedamaian hidup bersama-sama tersebut.

Dalam penceritaan adegan lainnya, ternyata Duryudana (Anton), Sengkuni (Sarwi Edi), Anoman (Iroel), dan dua raksasa (Jono dan Nugroho), masing-masing juga berkeinginan untuk mendapatkan pusaka tersebut.

Melalui dialog dua raksasa yang mencegat perjalanan Bratasena dan rombongannya di suatu hutan, Sang Dalang menyelipkan pesan-pesan moral tentang bencana alam yang tidak hanya karena letusan gunung, tetapi juga bencana dalam wujud lain, seperti kemacetan lalu lintas, banjir tahunan, dan polusi di kota besar sebagaimana terjadi di ibu kota negara, Jakarta.

Selain itu, juga tentang praktik suap-menyuap dan korupsi yang menjadi penyakit para pejabat dan mengakibatkan kerugian negara serta menyengsarakan rakyat.

Penolakan pemberian suap kepada para raksasa oleh rombongan pencari wangsit Tambora yang hendak melewati suatu hutan, diungkapan secara menggetarkan melalui ucapan bersama-sama para wayang, penyaji tarian, dan penabuh gamelan, "Antisuap, antikorupsi!".

"Gunung tidak bisa disuap," kata dalang Sih Agung menyimpulkan adegan tersebut yang diikuti iringan tabuhan gamelan "srepeg" dan "sampak".

Para raksasa sadar akan perbuatan jahatnya dan kemudian bergabung dengan mereka dalam jalan kebaikan untuk mencari wangsit Tambora.

Alkisah dalam adegan di dasar samudera dengan hilir mudik tarian perahu lumping para penari dari Gunung Andong, para wayang berjumpa dengan Dewa Ruci.

Pada kesempatan itu, Dewa Ruci menebarkan nasihat tentang kebaikan hidup sebagai pusaka mendapatkan kedamaian dan kesejahteraan bersama.

"Kabeh podho entuk sejatining urip, miturut dharmaning dhewe-dhewe  (Semua manusia mendapatkan kesejatian hidup sesuai dengan darma masing-masing). Semua adalah sahabat yang memberi inspirasi," begitu Sang Dalang memungkasi pengkisahan "Wangsit Tambora" yang ditutup dengan ucapan serempak para pemain wayang gunung, "Jaya giri, jaya bahari".

Tarian Soreng Truntung yang riuh-ramai dengan para penonton ikut naik panggung sambil menabuh puluhan kentongan, menjadi perlambang bahwa wangsit Tambora menjadi milik siapa saja.

Oleh M. Hari Atmoko
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2015