Bogor (ANTARA News) - Gedung Merdeka yang terletak di jantung Kota Bandung kembali menyedot perhatian rakyat Indonesia dan bangsa-bangsa di kawasan Asia dan Afrika pada 24 April.

Pada hari itu, Presiden Joko Widodo bersama para kepala negara dan pemerintahan dari puluhan negara dari dua kawasan itu dijadwalkan melakukan napak tilas sejarah Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955.

Kegiatan yang diberi nama "historic walk" dari Hotel Savoy Homann ke gedung yang menjadi saksi sejarah dari peristiwa besar pelehatan yang digagas Presiden pertama RI, Soekarno, dan para pemimpin India, Pakistan, Sri Lanka dan Myanmar itu adalah puncak dari agenda Peringatan 60 Tahun KAA.

Dalam perjalanan sejarahnya, gedung yang dirancang Van Gallen dan C.P.W. Schoemaker pada 1922 itu telah mengalami perubahan nama dan fungsi beberapa kali.

Seperti diungkap buku panduan "Museum Konperensi Asia-Afrika" yang diterbitkan Kementerian Luar Negeri RI (2014), gedung bergaya Art Deco itu pada mulanya hanyalah sebuah bangunan sederhana yang dijadikan tempat berkumpulnya orang-orang Eropa, khususnya Belanda.

Setelah Belanda angkat kaki dari bumi Parahyangan karena kalah perang melawan tentara pendudukan Jepang pada Perang Dunia II, nama gedung tersebut pun kemudian diubah penguasa Jepang ketika itu dari Gedung Societeit Concordia menjadi Dai Toa Kaikan.

Di masa pendudukan Jepang itu, gedung yang pada zaman Belanda dijadikan tempat pertemuan dan rekreasi kaum elitis Eropa itu difungsikan sebagai pusat kebudayaan dan pada bangunan sayap kirinya yang diberi nama Yamato difungsikan sebagai tempat minum-minum.

Setelah Indonesia merdeka, gedung yang terletak di Jalan Asia Afrika No. 65, Bandung, ini pernah dijadikan markas pemuda Indonesia dalam menghadapi pasukan Jepang.

Adalah Bung Karno yang kemudian memberi nama bangunan yang terletak hanya beberapa puluh meter dari Alun-Alun dan Masjid Raya Kota Bandung yang asri itu dengan nama Gedung Merdeka.

Pemberian nama Gedung Merdeka itu dilakukan Bung Karno pada 7 April 1955 atau 11 hari sebelum dimulainya KAA yang saat itu diikuti para delegasi dari lima negara penggagas dan 24 negara lain dari kedua kawasan itu.

Di bangunan bergaya Art Deco dan International Style itulah Dasa Sila Bandung yang menginspirasi bangsa-bangsa Asia dan Afrika untuk bersatu melepaskan diri dari penjajahan, menyemai kerja sama serta membangun perdamaian dunia itu dilahirkan pada 1955.

Setelah sempat menyandang nama Gedung Konstituante dan Gedung Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pasca Pemilu 1955 hingga 1971, bangunan yang kembali bernama Gedung Merdeka itu kemudian difungsikan pemerintahan Presiden Suharto sebagai museum pada peringatan 25 tahun KAA.

Di gedung itulah, "Museum Konperensi Asia Afrika" yang dilengkapi ruang pameran tetap, diorama, perpustakaan dan audio visual serta menfasilitasi riset bagi kalangan peneliti dalam dan luar negeri itu berdiri sejak 24 April 1980.



Mochtar

Museum itu sendiri diresmikan presiden kedua RI, Soeharto, pada 24 April 1980 namun adalah Mochtar Kusumaatmaja sosok yang turut berjasa dalam proses kelahiran museum yang dibuka untuk umum dari Selasa sampai Kamis pukul 08.00-16.0008.00-16.00 WIB, serta Jumat pukul 14.00-16.00 WIB dan Sabtu-Minggu pukul 09.00-16.0009.00-16.00 WIB.

Sebagai menteri luar negeri ketika itu, Mochtar Kusumaaatmaja, seperti diungkap buku panduan museum terbitan Kemenlu RI (2014), sering bertemu dan berdialog dengan para pemimpin negara-negara dari kawasan Asia dan Afrika.

Dalam berbagai pertemuan dan kesempatan itu, para pemimpin negara dan bangsa dari kedua kawasan itu berulang kali mengungkapkan keinginan mereka untuk dapat mengunjungi Bandung dan Gedung Merdeka.

"Terilhami oleh kehendak untuk mengabadikan Konferensi Asia-Afrika 1955 serta terdorong oleh keinginan sejumlah pemimpin Asia-Afrika untuk mengunjungi Kota Bandung, lahirlah gagasan Prof.Dr.Mochtar Kusumaatmaja, SH,LLM untuk mendirikan Museum Konferensi Asia Afrika di Gedung Merdeka, Bandung."

Sejak berdiri hingga kini, museum yang menempati ruang-ruang dalam gedung yang pernah dikunjungi sejumlah tokoh dunia, termasuk mantan Sekjen PBB Boutros Boutros Ghali dan Kofi Annan, itu menjadi salah satu tempat yang ramai didatangi orang-orang Indonesia serta tamu negara dan turis asing.

Berdasarkan data pengunjung museum yang diperoleh Antara dari Kasi Promosi dan Publikasi Museum KAA, Asep Bahrimansyah, ada sebanyak 177.981 orang pengunjung sepanjang 2014 dan 8.295 orang di antaranya adalah wisatawan asing.

Jumlah turis asing yang menyempatkan diri untuk melihat rekam jejak sejarah KAA saat mereka berkunjung ke Bandung itu jauh di atas angka kunjungan dari kalangan perguruan tinggi, peneliti, jurnalis, tamu negara, serta kalangan instansi/organisasi asing dan dalam negeri.

Data yang dikumpulkan karyawan museum yang berada di bawah pengelolaan Ditjen Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri RI itu menunjukkan jumlah pengunjung dari kalangan pelajar TK-SD/Madrasah Ibtidaiyah mencapai 28.050 orang dan SMP/Madrasah Tsanawiyah (68.511).

Seterusnya, kalangan pelajar SMA/SMK/Madrasah Aliyah sebanyak 20.899 orang, perguruan tinggi (5.601), peneliti (74), jurnalis (65), organisasi asing (620), organisasi dalam negeri (7.349), wisatawan nusantara (38.247), dan tamu negara (270).

Di gedung yang menjadi tempat kelahiran Semangat Bandung itu, Bung Karno telah menyuarakan "Let a New Asia and a New Africa be Born" (Mari Kita Lahirkan Asia dan Afrika Baru) dalam pidato bersejarahnya di KAA 60 tahun silam.

Pada 24 April 2015, Presiden Joko Widodo, Perdana Menteri Palestina Rami Al Hamdallah, Presiden Tiongkok Xi Jinping, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, serta kepala negara dan pemerintahan dari puluhan negara Asia dan Afrika yang mengikuti Peringatan 60 Tahun KAA kembali ke Gedung Merdeka ini.

Sebagai tuan rumah dan salah satu negara yang menggagas KAA 60 tahun lalu itu, Indonesia lantang berdiri di depan menyuarakan perlunya "tatanan baru, serta keseimbangan dan keadilan global" demi terwujudnya dunia yang berkeadilan bagi seluruh bangsa.

Oleh Rahmad Nasution
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015