Jakarta (ANTARA News) - Adanya larangan keluarga sedarah untuk ikut mencalonkan diri di pemilihan Kepala Daerah dinilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), hal ini tertuang dalam pasal 7 UU No 1/2015 tentang UU Pilkada, sehingga calon gubernur, calon bupati, dan calon wali kota beserta calon wakil masing-masing tak boleh punya konflik kepentingan dengan petahana.

Pengacara Andi Syafirani dalam keterangan persnya di Jakarta, Selasa, mengatakan, melihat adanya kejanggalan dalam pasal tersebut, Zia dan Patners Law Firm melakukan uji materi (judicial review) pasal 7 UU No1/2015 tentang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Andi Syafirani menilai Pasal 7 tersebut inkonstitusional. Ada beberapa alasan, pertama pasal tersebut menciptakan ketidakpastian hukum. Karena, redaksi pasal dengan batang tubuhnya berbeda. Ini juga bertentangan dengan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 mengenai pembentukan perundang-undangan.
 
"Pasal ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Besok Rabu (23/4) ada sidang lanjutan mendengarkan jawaban dari pemerintah dan DPR," ujar Andi.
 
Argumen kedua, kata dia, pasal itu juga bertentangan dengan hak asasi manusia dimana tidak ada larangan untuk dipilih maupun memilih apalagi yang sifatnya sosial.

Andi menyarankan, jangan sampai UU ini membatasi dan melanggar HAM karena hanya hubungan darah dengan petahana, jangan sampai ini mengkebiri atau memangkas hak orang untuk dipilih. "Ini tidak ada di negara manapun yang menerapkan model seperti Indonesia, jangan sampai Indonesia dicap sebagai negara aneh," tegasnya.
 
Dihubungai terpisah, pengamat pemilu Jeirry Sumampow mengatakan selama ini tidak ada larangan bagi hubungan keluarga untuk mencalonkan diri di UU yang baru ini baru dilarang.

Memang ujarnya agak dilematis, satu sisi pemerintah menjamin hak memilih dan dipilih satu sisi lagi dinasti politik ini sudah sangat memprihatinkan. "Jika mengacu kepada hak dipilih dan memilih judicial review ini bisa saja menang, karena konstitusi sudah menjamin itu," kata Jeirry.
 
Oleh karena itu, pengaturan mengenai itu tidak seharusnya melalui UU, bisa diatur diproses rekrutmen di internal partai atau cukup di peraturan KPU. “Jadi UU kita tidak membatasi hak sesorang dalam pemilihan umum. Perlu diakui peroses pemilu kita memang memungkinkan hubungan keluarga untuk maju, dan peluangnyapun sangat besar untuk terpilih,” tandas Jeirry yang juga Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Teppi).

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015