Johannesburg (ANTARA News) - Tentara Afrika Selatan akan dikerahkan untuk menangangi gerombolan kriminal yang memburu dan membunuh orang-orang asing, kata sejumlah pejabat pada Selasa, setelah sedikitnya tujuh orang meninggal dalam satu gelombang kekerasan anti imigran.

Polisi di ibu kota ekonomi Johannesburg dan kota pelabuhan Durban telah berupaya menahan kerumunan warga yang menyasar para migran dari Zimbabwe, Malawi, Mozambik dan negara-negara Afrika lainnya selama tiga pekan terakhir, lapor AFP.

Pemerintah telah berjanji akan menumpas aksi kekerasan, tetapi keputusan untuk mengerahkan tentara di jalan-jalan terjadi setelah dua malam situasi relatif aman di kedua kota tersebut.

"Kami datang sebagai ikhtiar terakhir -- tentara akan bertindak sebagai penangkal," Menteri Pertahanan Nosiviwe Mapisa-Nqakula kepada wartawan, menolak memberikan rincian mengenai berapa banyak prajurit akan dilibatkan.

"Ada orang-orang yang kritis tetapi mereka yang rentan akan mengapresiasi keputusan ini," kata dia. "Sekarang kami kerahkan karena ada kedaruratan."

Serangkaian serangan telah menghidupkan kembali kenangan atas pertumpahan darah xenophobic pada 2008, ketika 62 orang terbunuh di kotapraja Johannesburg, merusak citra pasca apartheid Afrika Selatan sebagai "negara pelangi" yang terdiri atas berbagai kelompok etnis dan budaya yang hidup harmoni.

Tentara Afrika Selatan dikerahkan untuk memulihkan ketertiban umum dalam kekerasan pada 2008, dan juga digunakan melawan penyerang-penyerang pada 2012 dan 2014.

Mapisa-Nqakula mengatakan tentara dikerahkan ke kawasan-kawasan yang rapuh di Johannesburg, dan juga ke Provinsi Kwazulu Natal, dengan Durban sebagai ibu kotanya.

Di Johannesburg, kehadiran militer akan fokus di kotapraja Alexandra, kawasan miskin yang baru-baru ini dilanda bentrokan-bentrokan xenophobic, termasuk seorang pria Mozambik ditikam hingga mati di siang bolong pada Sabtu.

Foto-foto grafis pembunuhan itu disiarkan di banyak surat kabar dan laman Afrika Selatan dan internasional.

"Saya pikir peristiwa itu telah membuat kaget tiap orang," kata Mapisa-Nqakula merujuk kepada penusukan itu.

"Orang-orang Afrika Selatan sekarang tahu... bahkan mereka yang barangkali tidak serius tahu itu... kami perlu bangkit.

"Ini tidak terlalu terlambat, ini tepat waktunya".

Alexandra, tempat Nelson Mandela tinggal ketika masih muda, merupakan salah satu tempat paling bermasalah di Johannesburg dan terletak dekat distrik bisnis Sandton.

Para imigran sering menjadi titik perhatian kebencian di antara warga Afrika Selatan yang miskin, yang menghadapi kekurangan kerja kronis dengan tingkat pengangguran anak muda mencapai 50 persen.

Hubungan regional telah terganggu akibat kekerasan tersebut, dengan Zimbabwe, Malawi dan Mozambik mengatur pemulangan para warganya yang merasa terancam.

Hampir 400 warga Malawi tiba malam hari di kota Blantyre di bagian selatan negara itu, tempat sejumlah meneteri dan pejabat menemuinya.

(Uu.M016)

Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015