Blantyre, Malawi (ANTARA News) - Warga negara asing yang melarikan diri dari aksi kekerasan "xenophobic" di Afrika Selatan pada Selasa menceritakan bagaimana mereka meloloskan diri dari gerombolan kriminal dan bersumpah tak akan pernah kembali ke negara tempat mereka mencari kehidupan baru itu.

Agnes Salanje, sambil menggendong puterinya yang berumur setahun, mengatakan ia "menghadapi maut" dalam gelombang kekerasan antiimigran yang telah merenggut sedikitnya tujuh nyawa.

"Kami bisa terbunuh karena orang-orang Afrika Selatan ini memburu warga negara asing, dari pintu ke pintu," kata Salanje, yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kota pelabuhan Samudera India, kepada kantor berita AFP.

Hampir 400 pengungsi Malawi tiba semalam di kota Blantyre yang berada di bagian selatan negara itu, tempat sejumlah pejabat dan menteri menemuinya.

Rangkaian serangan atas warga negara asing telah memicu gelombang kemarahan dan protes terhadap Afrika Selatan di seantero bagian lain benua Afrika.

Salanje, yang mendapat upah 200 dolar per bulan, mengatakan berhasil meloloskan diri setelah seorang tetangga yang baik hati memberitahu ada segerombolan penyerang dan "kami pergi ke satu masjid untuk berlindung."

"Saya tak akan kembali. Lebih baik miskin daripada diburu seperti anjing-anjing karena Anda orang asing," ujar dia. "Saya kehilangan segalanya. Saya hanya membawa pakaian sedikit untuk saya dan bayi saya Linda."

Penguasa Afrika Selatan berusaha mengatasi gerombolan massa di Johannesburg dan Durban yang telah menyerang orang-orang asing dari Zimbabwe, Malawi, Mozambik dan negara-negara lain di Afrika.

Orang-orang asing sering menjadi sasaran kebencian di antara kaum papa Afrika Selatan yang menghadapi kekurangan pekerjaan yang kronis.

Chisimo Makiyi, 23 tahun, yang bekerja pada satu pabrik pakaian di Durban, masih bingung mengapa mereka diserang.

"Kalau saya tak lari menyelamatkan diri, saya tidak akan berada di sini," kata dia. "Saya tak tahu mengapa mereka sekonyong-konyong membenci orang-orang asing dan memberi mereka dua pilihan --dibunuh atau pulang."

Makiyi bersumpah tak akan pernah kembali ke Afrika Selatan kendati "ada upah sebesar 280 dolar (per bulan) dan kembali pulang akan jadi mimpi."

Rata-rata pegawai negeri di Malawi menerima 100 dolar per bulan sementara buruh memperoleh hanya 50 dolar.

"Hidupku lebih penting dari pada gaji baik," kata dia. "Saya lebih baik miskin dan tanpa pekerjaan baik dari pada dibunuh di tanah asing."

(M016)



Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015