Jakarta (ANTARA News) - Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Ibnu Basuki memvonis mantan Wakil Kepala Korps Lalu Lintas (Wakakorlantas) Polri Brigadir Jenderal Polisi Didik Purnomo, selama lima tahun penjara.

Dalam persidangan yang digelar pada Rabu, majelis hakim juga menjatuhkan denda Rp250 juta subsider lima bulan kurungan ditambah pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp50 juta subsider enam bulan penjara.

"Mengadili, menyatakan terdakwa Brigadir Jenderal Pol Didik Purnomo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan primer. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karenanya dengan pidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp250 juta diganti pidana kurungan 5 bulan," kata Ketua Majelis Hakim Ibnu Basuki.

Didik dianggap terbukti memperkaya diri sebanyak Rp50 juta dari pengadaan "driving" simulator roda dua (R2) dan roda empat (R4) pada Korlantas Polri tahun anggaran 2011 yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp121,8 miliar.

Vonis itu lebih rendah dibanding tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum KPK yang meminta agar Didik dihukum selama tujuh tahun penjara ditambah denda Rp250 juta subsider enam bulan kurungan ditambah dengan pidana pengganti Rp50 juta dan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu dalam jabatan publik.

"Menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp50 juta dengan ketentuan jika terdakwa tidak membayar uang pengganti dalam waktu satu bulan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap maka harta bendanya akan disita oleh jaksa untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka dipidana penjara selama 6 bulan," ungkap hakim Ibnu.

Majelis hakim yang terdiri dari Ibnu Basuki, Sinung Hermawan, Casmaya, Anwar dan Ugo tersebut juga tidak setuju dengan pemberian pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak dalam menduduki jabatan publik.

"Majelis tidak sependapat dengan tuntutan jaksa penuntut umum yang memohonkan pidana tambahan kepada terdakwa berupa pencabutan hak-hak tertentu untuk dipilih dalam jabatan publik karena penjara sudah memenuhi rasa keadilan bagi diri terdakwa. Terdakwa tidak perlu lagi dilakukan pencabutan hak-hak tertentu dalam jabatan publik karena hal ini akan diserahkan kepada masyarakat terkait jabatan publik tersebut," kata hakim Ibnu.

Putusan itu berasal dari dakwaan primer yaitu pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP.

Hakim menilai hal yang memberatkan Didik adalah perbuatan Didik tidak mendukung program pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi.

"Hal yang meringankan, terdakwa berlaku sopan dalam persidangan, terdakwa belum pernah dihukum, terdakwa selama pengabdiannya telah mempunyai prestasi dan mendapat penghargaan dari pemerintah, dan uang yang didapat oleh terdakwa kecil," ungkap hakim Ibnu.

Hakim berpendapat bahwa Didik jelas menerima uang Rp50 juta dari Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo Sastronegoro Bambang sebesar Rp50 juta.

Uang diberikan pada 25 Maret 2011 saat Sukotjo datang ke Korlantas menuju ruangan Didik dengan Sukotjo menyerahkan kantong berisi kue brownis Amanda, Cheese Rol dan uang Rp50 juta.

Didik juga dianggap melakukan penggelembungan anggaran dalam pengadaan simulator R1 dan R2 yaitu 750 unit untuk R2 dengan harga per unit Rp80 juta dan 556 unit untuk R4 seharga Rp260 juta per unitnya sehingga total anggarannya adalah Rp144,56 miliar.

Panitia pelaksana dipimpin oleh Teddy Rusmawan dengan anggota antara lain Ni Nyoman Suartini, dan pada Desember 2010 disepakati bahwa pengadaan Simulator tersebut dikerjakan Budi Susanto, Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi.

Djoko Susilo dan Budi Susanto menyepakati bahwa Harga Perkiraan Sendiri (HPS) R2 adalah Rp79,93 juta dan R4 hanya Rp258,917 miliar. Artinya terjadi penggelembungan harga (mark up) dengan tiga cara yaitu komponen dihitung dua kali, memasukkan komponen yang sebenarnya tidak digunakan dan menaikkan harga satuan masing-masing komponen.

Setelah HPS disusun, Teddy menyerahkannya kepada Didik selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) untuk ditandatangani padahal Didik tidak pernah melakukan penyusunan terhadap spesifikasi teknis dan HPS tersebut tapi Didik tetap menandatangani HPS R2 senilai Rp79,93 miliar dan R4 senilai Rp55,3 miliar dengan nilai total sebesar Rp143,448 miliar.

"Terdakwa mengaku tidak banyak terlibat karena sering tidak mengetahui pekerjaan panitia sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), tapi seharusnya sebagai PPK terdakwa tidak boleh pasif tapi aktif. Ada pencairan dana yang tidak diketahui terdakwa dan baru diketahui beberapa bulan kemudian, seharusnya terdakwa melakukan pemutusan kontrak tapi malah bersedia menandatangani kontrak dengan tanggal mundur karena ada pemeriksaan BPK maka dikategorikan perbuatan terdakwa merugikan keuangan negara," ungkap hakim Ugo.

Didik pun kemudian menerbitkan Surat Keputusan tentang penunjukkan PT CMMA sebagai pemenang lelang dan pelaksana pengadaan driving simulator uji klinik pengemudi R2 tahun anggaran 2011 dengan nilai kontrak Rp54,453 miliar sebanyak 700 unit dengan harga satuan Rp77,79 juta.

Kakorlantas saat itu Irjen Pol Djoko Susilo selanjutnya pada 16 Maret 2011 menandatangani dokumen pengajuan pencairan anggaran untuk pembayaran pekerjaan pengadaan barang simulator R2 dengan nominal Rp48,76 miliar. Satu minggu setelah pencairan, Wahyudi selaku staf Budi Susanto datang ke kantor Korlantas menemui bendahara Kakorlantas Legimo dan menitipkan uang sekitar Rp30 miliar yang dibungkus dalam empat kardus.

Pemberian uang Rp48,76 miliar pada 17 Maret 2011 kepada PT CMMA tidak seharusnya karena PT CMMA tidak berhak menerima uang sejumlah tersebut karena pekerjaannya belum sepenuhnya selesai dan seharusnya PPK wajib meneliti apakah pekerjaan sudah selesai atau belum.

"Padahal pekerjaan belum diselesaikan tapi pembayaran sudah seluruhnya dibayar pada Maret," ungkap hakim.

Didik kemudian menyetujui berita acara pengujian dan penerimaan materil (BAPPM) padahal kenyataannya pekerjaan belum selesai seluruhnya. Tim pemeriksa dan penerima barang pun tidak pernah melakukan pengecekan pada Maret 2011 dan baru dilakukan pengecekan pada September 2011 dengan hasil baru 426 unit R2 yang didistribusikan dan masih 274 unit yang masih dikerjakan padahal pekerjaan itu seharusnya diselesaikan paling lambat 28 Juli 2011.

Kemudian Didik selaku PPK menandatangani SK tentang penunjukkan pemenang lelang pelaksanaan "driving" simulator R4 tahun 2011 dengan nilai kontrak Rp142,41 miliar. Pembayaran tersebut dicairkan pada 6 Desember 2011 dengan nilai sebesar Rp127,526 juta.

Atas vonis tersebut, tim kuasa hukum Didik menyatakan pikir-pikir

"Kami menyatakan pikir-pikir," kata pengacara Didik.

Sedangkan JPU KPK juga menyatakan pikir-pikir.

"Kami juga menyatakan pikir-pikir," kata ketua JPU KPK Haerudin.

Terkait perkara ini, atasan Didik, Djoko Susilo sedang menjalani hukuman penjara selama 18 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar subsidair 1 tahun kurungan berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung.

Sedangkan Budi Susanto juga sudah divonis delapan tahun penjara dan denda Rp500 juta ditambah pidana uang pengganti sebesar Rp17,13 miliar.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015