Jakarta (ANTARA News) - Konferensi Asia Afrika yang diadakan tanggal 19-24 April di Indonesia tidak melulu membahas kerja sama bilateral antara negara Selatan-Selatan.

Indonesia sebagai tuan rumah berusaha menjamu tamu-tamu kehormatan dengan berbagai hiburan, serta dengan bangga memeperkenalkan kekayaan budaya yang dia miliki.

Seperti misalnya batu akik Panca Warna yang menjadi cinderamata para peserta Konferensi Asia Afrika.

Ibu Negara Iriana Joko Widodo pada Rabu (22/4) memperkenalkan kain batik dan kain khas Indonesia yang dipamerkan di Museum Tekstil yang terletak di Jakarta Pusat.

Dikemas dalam acara yang diperuntukkan bagi istri-istri kepala negara yang hadir dalam Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika di Jakarta, kunjungan ke Museum Tekstil tersebut berlangsung semarak dan menarik.

Dalam acara tersebut hadir istri Presiden Timor Leste Ny Taur Matan Ruak, istri Presiden Zimbabwe Ny Robert Mugabe, isteri Presiden Madagaskar Ny Hery Rajaonarimampianina, serta Ibu Mufidah Kalla, dan Ibu Veronica Tan.

Pada pukul 10.00 WIB rombongan tiba di Museum Tekstil dan diterima oleh Ibu Negara Iriana dan Ibu Mufidah Kalla. Masing-masing istri kepala negara tersebut menerima selendang batik yang dikalungkan oleh Ibu Irina dan Ibu Mufidah.

Rombongan kemudian berkeliling melihat koleksi Museum Tekstil yang memiliki ratusan jenis kain nusantara dari mulai batik hingga kain tenun lainnya. Tak hanya melihat koleksi museum, Ibu Negara dan Ibu Mufidah Kalla juga mengajak tamunya untuk melihat langsung proses pembuatan batik tulis. Ny Taur Matan Ruak dan Ny Robert Mugabe bahkan mencoba langsung bagaimana proses membatik

Sebelum acara kunjungan berakhir, rombongan sempat mengikuti jamuan minum teh dan berfoto bersama.

Ibu Iriana dalam kesempatan itu mengenakan kain batik perpaduan hitam dan cokelat yang dipadu dengan atasan berwarna merah jambu dan selendang batik yang senada dengan kain batik. Sementara Ibu Mufidah Kalla mengenakan baju kurung berwarna hijau tosca dipadu dengan kain songket.

Sementara itu di Bandung sosok "Charlie Chaplin" hadir di tengah-tengah persiapan Peringatan ke-60 KAA di Gedung Merdeka dan berbaur dengan masyarakat yang datang ke lokasi itu.

"Asyik bisa foto dengan Charlie Chaplin di sini, momen langka bisa berfoto dengan sosok ini di peristiwa bersejarah seperti ini," kata Nurlaela (20) salah seorang mahasiswa yang berkunjung ke kawasan Gedung Merdeka Bandung.

Perempuan berkerudung itu beberapa kali berpose bersama "Charlie Chaplin" yang hadir sejak pagi hari di sekitar ring satu untuk acara napak tilas KAA 1955 itu.

Seorang pemuda tampak dengan apik memerankan sang komedian yang identik dengan jas hitam putih, seonggok kumis, topi hitam, tongkat serta make up khas.

Pria Chaplin asal Bandung itu menjadi primadona untuk menjadi teman difoto atau selfie oleh pengunjung yang masih cukup deras datang ke kawasan itu.

Dengan sabar, sang Chaplin lokal Bandung itu melayani foto warga dengan memasang mimik khas komedian dan sineas legendaris asal Britania Raya itu. Bahkan tak jarang ia menuruti pose yang diinginkan oleh penggemarnya untuk berfoto bareng.

Dalam beberapa kesempatan, ia berpantomim meniru gerakan-gerakan kocak Charlie Chaplin.

"Saya senang dengan sosok Charlie Chaplin, dan diharapkan ini bisa menghibur warga yang datang ke sini," kata pria "Charlie Chaplin" itu ketika ditemui di samping Gedung PLN DJBB yang di seberang Gedung Merdeka.

Sosok Charlie Chaplin juga memiliki sejarah dengan kawasan ring satu Konferensi Asia Afrika itu. Pada tahun 1923, sosok sineas yang memiliki ciri khas kumis seonggok itu pernah menginap di Hotel Savoy Homan Bandung, yakni hotel yang juga menjadi tempat menginap delegasi KAA tahun 1955.


Pergunakan Karya Anak Bangsa

Kreator Sound System V8sound.com Harry Kiss mengaku bangga pengeras suara ciptaannya digunakan dalam Peringatan ke-60 Tahun Konferensi Asia Afrika

"Saya bangga KAA ini menggunakan sound system karya anak bangsa, V8sound.com," katanya.

Ia mengatakan V8sound.com digunakan dalam acara KAA yang digelar di 17 lokasi, 12 pertemuan penting di JCC, 3 diantaranya digelar di Gedung DPR RI, dan 5 lokasi di Bandung, yaitu di Gedung Merdeka, di Hotel Savoy Homann dan Viewing di OCBC NISP, Hotel Ibis dan hotel Majestic Bandung.

Selain KAA, kata dia, V8Sound.com yang diciptakannya itu juga telah digunakan dalam acara-acara besar internasional di Tanah Air, seperti APEC di Bali, ASEAN Summit, Bali Democracy Forum, Jakarta International Defense, dan saat kedatangan Presiden Obama di Jakarta beberapa tahun lalu.

Bahkan, Harry Kiss yang juga ayah dari penyanyi Vidi Aldiano itu pernah mendapatkan penghargaan dari Gedung Putih.

"Saat itu White House Communication Agency, Kepresidenan Gedung Putih Amerika puas dengan kualitas tata suara yang diberikan, selama Presiden Obama di Bali saat ASEAN Summit," katanya.

Harry mengatakan, untuk menggelar tata suara dalam acara besar seperti ini memerlukan ketelitian, "zero mistake" dan teknologi tata suara yang memadai, sehingga menghasilkan kejernihan suara yang terbaik.

"Di samping itu harus memahami ilmu akustik ruangan. Jadi selama bekerja untuk mencapai hasil terbaik saya dibantu oleh DR Joko Sarwono, pakar akustik dari ITB, khususnya untuk menggatasi kendala akustik di Gedung Merdeka Bandung saat acara KAA," katanya.

Produk V8Sound yang digunakan di KAA meliputi loudspeaker seri merah putih, amplifier, hingga microphone.

"Bangga rasanya bisa mandiri dalam teknologi tata suara, dengan menggunakan produk karya anak bangsa dan saya yakin Indonesa Bisa," ujarnya.

Harry Kiss beberapa waktu lalu juga memamerkan hasil karyanya berupa Speaker seri 7 Presiden di Frankfurt Jerman 15- 18 April 2015.


Angklung For The World

Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya yang juga menjadi Ketua Side Event Peringatan Konferensi Asia Afrika ke-60 pada 19-24 April 2015 terus memantau persiapan pertunjukan kolosal "Angklung for The World" yang akan digelar di Stadion Siliwangi Bandung pada 23 April 2015 pukul 09.00-10.00 WIB, sebagai salah satu "side event" KAA 2015.

Saat dihubungi Antara, Menteri Arief mengatakan sangat penting untuk memastikan pertunjukan angklung untuk KAA sudah siap, apalagi karena momen ini amat krusial mengingat tantangannya tidak mudah.

"Bermusik dengan jumlah pemain lebih dari 20.000 pasang mata, satu kepala pegang satu nada, dan dipimpin satu konduktor," tuturnya.

Menurut dia, persiapan harus dilakukan dengan benar-benar matang.

Apalagi masing-masing pemain harus bisa berkolaborasi di "open space" yang jarak terjauh antarpemainnya lebih dari 125 meter.

Terlebih, venue berada di tribun lapangan bola yang cekung, dengan satu sisi tribun, yang pasti menghasilkan gema seperti echo.

"Dari sinilah, pentas angklung terbesar sepanjang sejarah itu akan diabadikan oleh World Guinness Book of Record 2015. Persiapan sudah 100 persen," ujar Menpar Arief Yahya.

Rencananya, kata Arief, penghitungan jumlah peserta yang memainkan angklung akan dikontrol dan dihitung langsung oleh tim dari "Guiness Book of The Record".

"Pada saat peserta masuk ke Stadion Siliwangi, dengan menenteng alat musik dari bambu khas Sunda itu, mereka akan dihitung, dan didata. Kalau peserta yang sudah mendaftar, sudah 20.000 orang," jelas mantan Dirut PT Telkom itu.

Mereka akan memainkan lagu mars "Halo Halo Bandung!", lagu perjuangan yang identik dengan semangat rakyat Bandung pada masa pasca-kemerdekaan 1946, persisnya di peristiwa Bandung Lautan Api, 23 Maret 1946.

Lagu legendaris dengan hentakan yang cepat menggambarkan bagaimana semangat masyarakat Bandung terbakar agar kotanya tidak direbut dan dikuasai lagi oleh Sekutu dan tentara NICA Belanda yang ingin mengambil alih setelah Jepang takluk.

Ia mengatakan, dibandingkan orkestra dengan 100 pemain lengkap, mungkin tidak terlalu sulit. Tetapi 20.000 orang dengan derajat kosentrasi yang berbeda, itu tidak gampang.

"Terus terang, saya juga merinding dengan jumlah pemain angklung sebanyak itu, saya makin penasaran, seperti apa efek suara yang ditimbulkan di show kolosal itu. Saya membayangkan, pasti spektakuler dan memukau! Dan itu akan menjadi bahan perbincangan di arena Peringatan KAA ke-60,"

Satu lagu legendaris lagi yang bakal dimainkan dalam menyambut tamu-tamu negara ke Tanah Air adalah "We are the World".

"Andai Michael Jackson, sang legenda pop dunia asal Amerika itu masih hidup, mungkin dia akan terbang ke Bandung, menjadi saksi gemuruhnya musik Angklung for The World, 23 April," kata Menpar Arief Yahya di Jakarta.

Lagu gubahan Michael Jackson dan Lionel Richie tahun 1985 itu sering didendangkan oleh banyak penyanyi top dunia itu.

"Pilihan lagu itu matching dengan peringatan besar Konferensi AA," ungkap Arief Yahya yang asli Banyuwangi, Jawa Timur itu.

Seperti diketahui, alat musik yang terbuat dari bambu itu sudah terdaftar dan dicatatkan sebagai Warisan Budaya Dunia atau "The Intangible Heritage of Humanity", UNESCO, sejak Kamis, 18 November 2010 di Nairobi, Kenya, Afrika atau sudah hampir 15 tahun.

Keberadaan angklung sebagai warisan budaya dan diakui oleh lembaga PBB yang bergerak di bidang Pendidikan dan Kebudayaan itu menyusul keris, wayang, dan batik yang lebih dulu ditetapkan sebagai warisan budaya dunia dari Indonesia.

"Kita harus bangga dengan karya budaya asli itu. Anak-anak muda juga bisa bermain angklung dengan indah," ujar Menteri kelahiran Banyuwangi, Jatim ini.

UNESCO menilai, angklung memenuhi kriteria sebagai warisan budaya bukan benda yang diakui dunia internasional.

Angklung juga dianggap menjadi bagian penting identitas budaya Jawa Barat dan Banten.

Seni musik ini mengandung nilai-nilai dasar kerja sama, saling menghormati dan harmonisasi sosial.

"Karena itu, menampilkan angklung di pentas internasional sebagai side event nya Peringatan KAA sudah pas. Ada kekuatan budaya yang bisa ditampilkan di saat banyak orang asing yang berkunjung ke Bandung," jelasnya.

Menurut dia, angklung sudah sangat popular di pentas dunia dan sering dipromosikan dan dibawa oleh delegasi Indonesia dalam berbagai ajang pameran di banyak negara.

"Pemecahan rekor dunia ini semakin memperkokoh potensi dan keunikan budaya kita dalam peta pariwisata dunia," tuturnya.

Sebelumnya, Guinness World of Record pernah mencatat rekor bermain angklung kolosal di Beijing, Tiongkok. Kala itu Kedutaan Besar RI di Beijing bersama Perhimpunan Persahabatan Indonesia Tiongkok (PPIT) mencatatkan 5.393 pemain angklung di Stadion Buruh Beijing.

Di sana, orchestra angklung pimpinan Daeng Udjo itu memainkan beberapa lagu, seperti Manuk Dadali, lagu berbahasa Mandarin Yueliang Daibiao Wo De Xin, dan lagu kebersamaan: We Are The World.

Rekor yang dibukukan di Ibu Kota Tiongkok itu, sudah menggugurkan catatan kolosal sebelumnya, yang digelar di kaki Monumen Nasional Kebanggaan AS di Washinton DC.

Konsep acaranya dirancang oleh Dino Patti Djalal, Mantan Dubes RI untuk AS. Saat itu, dicatat 5.102 orang ikut bermain, dan mendendangkan lagi yang sangat popular di AS saat itu, "We Are The World" dan "Take Me Home Country Road".

Di Adelaide, Australia, konser angklung terbanyak pernah dimainkan dalam Royal Adelaide Show 2014, pada 13 September 2014.

Di acara pameran tahunan pertanian terbesar di Negeri Kanguru Selatan itu host-nya adalah Royal Agriculture and Horticulture Society of South Australia.

Mereka mengklaim ada 6.100 angklung (dari 7.000 yang dibawa dari Indonesia), dimainkan bersama oleh pengunjung acara itu dari berbagai usia. Karena itu, jumlah itu layak dicatat sebagai peraih rekor baru.

"Waltzing Maltida", lagu khas Australia dan "Happy Birthday" dimainkan dengan instrumen khas angklung, dalam rangkaian perngatan 175 tahun Royal Agriculture Society of South Australia.

Tetapi, sampai sekarang belum ada keterangan resmi dari Guinness Book of The Record, yang mencatat rekor itu.

Bagi Menteri Pariwisata Arief Yahya, di manapun juga, dalam jumlah berapapun juga, pentas musik etnik angklung itu harus diapresiasi. Mereka turut mempopulerkan karya budaya asli Indonesia yang telah lama mengakar kuat.

"Begitu mendengar istilah angklung, melihat bambu pembuat angklung, mendengar suara musik berbasis bambu, yang ada di pikiran orang langsung ke Indonesia. Ini sama dengan mempromosikan kekayaan budaya Indonesia," tukasnya.

Oleh Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015