Jakarta (ANTARA News) - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mendesak kepolisian serta pemerintah untuk melakukan investigasi mendalam terkait kematian Yoseph Sairlela, saksi kunci kasus Benjina.

"Kami menduga kematian Yoseph adalah upaya untuk mengaburkan penyelesaian kasus Benjina karena ini berkaitan erat dengan pertarungan bisnis ikan di Maluku," ujar Koordinator Bidang Advokasi KontraS Haris Azhar dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu.

Yoseph merupakan Koordinator Satuan Kerja Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Dobo, Kepulauan Aru, yang ditemukan tewas di salah satu hotel di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, pada 18 April 2015.

Kematiannya yang secara tiba-tiba diduga disebabkan karena ia mengetahui sejumlah praktik-praktik mafia yang terjadi di sektor kelautan dan perikanan, terutama yang berkaitan dengan pengungkapan kasus perbudakan anak buah kapal asing oleh PT Pusaka Benjina Resouce (PBR) di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku.

Sementara itu Ketua KNTI Riza Damanik menyatakan bahwa terungkapnya kasus Benjina ini merupakan wujud dari diabaikannya perlindungan dan penegakan hukum dalam kegiatan perikanan di pulau-pulau kecil.

"Sesungguhnya temuan terhadap perusahaan (PT PBR) sudah dimulai sejak 2009 tapi tidak pernah benar-benar ditindaklanjuti," tuturnya.

Ia menyatakan bahwa setiap tahun PT Pusaka Benjina Resource selalu mendapatkan izin usaha baru yang mengisyaratkan ada keterlibatan aparat hukum dan pemerintah dalam praktik perbudakan itu.

Untuk itu Kontras dan KNTI mendesak Polri untuk melakukan penyelidikan mendalam terhadap peristiwa pembunuhan Yoseph untuk mengungkap kejelasan dan hubungannya dalam tindak perbudakan serta perdagangan manusia di Benjina.

"Polisi juga perlu melakukan penelusuran lebih lanjut tentang status puluhan kapal lainnya berdasarkan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2010 yang menyebutkan sedikitnya terdapat 98 kapal ikan yang masih menggunakan Anak Buah Kapal (ABK) asing melebihi 50 persen dari total keseluruhan ABK di atas kapal ikan, termasuk PT PBR," ujar Riza.

Selain itu, kepolisian bekerjasama dengan Komnas HAM juga perlu menindaklanjuti sejumlah laporan lain terkait peristiwa pelanggaran HAM dalam kegiatan eksploitasi sumber daya laut di Indonesia sebagaimana peran dan fungsinya yang diamanatkan dalam Pasal 76 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Kematian Yoseph juga menuntut kerja keras dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk memberikan perlindungan yang efektif terhadap sejumlah saksi dalam kasus Benjina maupun dalam praktik ilegal eksploitasi sumber daya laut lainnya sebagaimana yang tercantum dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Sebelumnya pada Kamis (23/4) Kepala Bidang Kedokteran dan Kesehatan Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Musyafak memastikan penyebab kematian Yoseph Sairlela adalah karena sakit.

"Ditemukan emboli di dalam jantung korban. Emboli itu sejenis zat atau otak kolesterol yang menutupi pembuluh darah," katanya.

Akibat emboli itu, ujarnya, Yoseph mengalami penyumbatan pada pembuluh darah kecil dan besar sehingga terjadi gangguan pada jantung.

Musyafak juga menyatakan tidak menemukan tanda kekerasan pada tubuh Yoseph berdasarkan hasil otopsi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta Pusat.

Yoseph merupakan salah satu dari delapan saksi kunci terkait dugaan tindak pidana perbudakan anak buah kapal asal Myanmar di Benjina Kepulauan Aru Maluku.

Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015