Intervensi itu dapat dimasukkan sebagai bagian dari perintah eksekutif"
Jakarta (ANTARA News) - Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin mengatakan sebagai kepala negara, Presiden boleh mengintervensi Polri, termasuk dalam kasus Novel Baswedan, tetapi tetap ada batasan.

"Intervensi itu dapat dimasukkan sebagai bagian dari perintah eksekutif. Namun, intervensi Presiden ke dalam Polri terbatas," kata Said Salahudin melalui surat elektronik di Jakarta, Senin.

Said mengatakan Polri memiliki tugas menjaga keamanan dan menegakkan hukum yang merupakan turunan dari fungsi eksekutif yang tanggung jawabnya ada di tangan Presiden.

Namun, Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, bukan berdasar kekuasaan belaka, sehingga intervensi Presiden kepada Polri  harus sesuai hukum.

"Batasan intervensi Presiden itu ditentukan oleh Undang-Undang. Presiden tidak boleh melakukan intervensi terhadap hal-hal yang telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang Kepolisian," tutur Said.

Namun, sepanjang intervensi dilakukan untuk menyelesaikan masalah-masalah nasional yang menjadi tanggung jawabnya, intervensi Presiden dapat dibenarkan, kata dia.

Misalnya ketika Presiden mengintervensi Polri untuk membebaskan Novel Baswedan karena memiliki tanggung jawab untuk memelihara keamanan dan ketertiban di masyarakat.

"Apabila Novel Baswedan tidak dibebaskan, ada kekhawatiran akan menyulut kembali konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Polri yang berpotensi menimbulkan masalah baru yang lebih besar," kata Said.

Menurut Said, konflik antara KPK dengan Polri bisa menimbulkan gangguan keamanan atau setidaknya ketidaktertiban dan ketidakharmonisan dalam masyarakat.

Said mengatakan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Presiden memiliki tanggung jawab untuk menegakkan hukum. Karena itu, Presiden berkewajiban memastikan hubungan antara sesama penegak hukum berjalan harmonis.

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015