Malang (ANTARA News) - Tiga mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Brawijaya (UB) Malang, Jawa Timur, menciptakan parfum aneka aroma yang berbahan baku dari jelantah (minyak bekas menggoreng yang sudah tidak digunakan lagi).

Salah seorang mahasiswa pencetus pembuatan parfum berbahan baku jelantah, Silvia Estrianti (19), Selasa, mengemukakan ide kreatif tersebut terinspirasi dari sejumlah produk dari bahan baku jelantah yang bermanfaat bagi masyarakat dan bernilai ekonomi, seperti karbol dan sabun mandi.

Selain Silvia, dua mahasiswa lainnya yang bekerja sama menciptakan minyak wangi dari bahan baku jelantah itu adalah Nurul Hidayat (19) dan Arulia Zani (19).

"Untuk menghasilkan parfum berbahan baku jelantah ini tidak sulit dan bahan lainnya pun mudah didapat, seperti ampas tebu dan beberapa bahan lainnya. Mula-mula, jelantah dijernihkan dengan cara merendamnya bersama ampas tebu selama sekitar 48 jam dengan komposisi ampas tebu hanya 5-7 persen dari volume jelantah," katanya.

Ia mengaku untuk mendapatkan ampas tebu tersebut, mereka membeli dari penjual es tebu di pinggir jalan atau dari pabrik gula, sedangkan untuk mendapatkan jelantah secara berkelanjutan Silvia dan teman-temannya bermitra dengan rumah makan dengan cara membeli dengan satuan liter.

Karena belum memiliki peralatan khusus dan modern, seluruh proses pembuatannya dilakukan dengan cara manual (tradisional).

Silvia mengatakan setelah dilakukan penjernihan, kemudian disaring agar ampas tebu tidak ikut terproses, baru mengolahnya dengan memasak minyak dengan resep khusus yang ditemukan.

Menyinggung aroma parfum ciptaannya itu, Silvia mengatakan ada tiga, yakni kopi, vanila dan cokelat.

Berdasarkan berbagai literatur, tiga aroma itu memberikan efek relaksasi, seperti kopi agar lebih berenergi, vanila mengurangi stres dan cokelat untuk meningkatkan mood.

Ia menjelaskan bentuk parfum ciptaan mereka itu cukup unik dan lucu seperti biji kopi dan batangan cokelat dengan warna natural. Hanya saja, karya dan aroma parfum ciptaan mereka itu masih lemah dalam segi pengemasan karena belum mendapatkan pengrajin yang bisa membuat kemasan sesuai dengan yang mereka inginkan.

"Saat ini kami masih menggunakan kemasan yang sudah tersedia di toko-toko, untuk kemasan toples kami jual dengan harga Rp8.500, sedangkan sachet seharga Rp6.500," ujarnya.

Melihat produknya yang unik, Silvia dan teman-temannya memutuskan untuk memproduksi dan dijual di kalangan fakultas dan secara daring (dalam jaringan/"online"), namun tetap melalui order terlebih dahulu.

Untuk mewujudkan temuan parfum unik tersebut, Silvia mengaku tidak semudah yang dibayangkan, bahkan mereka pernah nyaris terbakar dalam sebuah eksperimen.

Pada saat itu hari kelima, mereka mencoba menambahkan lilin atau stearin dalam adonan yang dibuat, namun adonan malah terbakar.

Meski gagal, mereka tidak berhenti dan patah arang. Mereka terus menerus mencoba resep-resep baru, namun juga selalu gagal mewujudkan impian mereka dan akhirnya menemukan resep dan prosedur baru yang justru berhasil.

Pewarta: Endang Sukarelawati
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015